Being a parent has made me more open, more connected to myself, more happy, and more creative. I’m more discerning in what I do and how I do it. It’s just made me a better person all the way around.
Alicia Keys

Menikah, Tak Selalu Seindah Bayangan

author
Ken Terate
Sabtu, 26 Oktober 2019 | 14:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

“Akhirnya pangeran menikah dengan sang putri. Dan mereka pun hidup bahagia selamanya.”

Itulah penutup kisah yang seringkali kita dapati, baik itu dalam dongeng, novel, hingga film. Kesan yang timbul? Pernikahan adalah ending, goals, tujuan hidup. Kalau sudah menikah? Kamu bakal bahagia selamanya.

Ditambah dengan segala dogma masyarakat seperti, “Hidupmu belum sempurna kalau belum nikah” atau “Menikah akan membuatmu tenang dan banyak rejeki,” kompletlah alasan kita untuk percaya bahwa menikah adalah solusi segala macam masalah dan kunci kebahagiaan.

Tetapi apa sering kita dapati?

“Suamiku selingkuh.”

“Istriku marah-marah terus.”

“Mertuaku bawel.”

“Iparku nyebelin banget.”

 “Aku kelelahan mengurus rumah. Aku ini istri atau cleaning service?”

Daftarnya bisa panjang sekali, bahkan kadang-kadang terdengar nggak masuk akal, seperti pasangan yang enteng saja mengongkosi hobi mahal, tetapi pelit luar biasa untuk membayar iuran sekolah anaknya.

Apa yang terjadi pada Rani dan Roni adalah contohnya. Mereka pasangan muda yang mabuk kebayang. Tinggal di kota berbeda tak menjadi masalah. Roni dengan setia mengunjungi Rani beberapa minggu sekali naik kereta. Tiga tahun pacaran, mereka memutuskan menikah dan tak lama kemudian dikaruniai bayi menggemaskan.

Baca juga: Belum Matang, Ini 7 Penyebab Lain Gagalnya Pernikahan

Masalah muncul satu persatu. Rani tak betah tinggal di rumah mertua. Terlalu kecil dan sumpek. Sebelum menikah, ia membayangkan tinggal di rumah sendiri yang nyaman. Rumah kecil dengan sepetak taman tempat mereka bisa minum kopi berdua sambil memandang bunga-bunga. Apa daya, harganya di luar jangkauan. Mau ngontrak sama sulitnya karena mereka tak kunjung menemukan kontrakan yang fasitasnya sesuai harapan, tapi ongkos sewanya sesuai dompet. Masalah lain? Mereka bergantung pada ortu Roni untuk mengasuh si bayi.

Roni dengan cepat melihat Rani ternyata tak memenuhi gambaran ‘perempuan ideal’ versinya; yang bisa masak, tekun momong anak, tampil wangi tiap saat, dan akur dengan mertua. Rani pun menganggap Roni sebagai suami egois yang tak mau berbagi pekerjaan domestik dan kurang keras memperjuangkan mimpi mereka.

Semua impian ala sinetron atau novel romantis hancur di depan mata. Cinta saja tidak cukup. Dengan gagap mereka menyadari pernikahan bukan happy ending, namun lebih seperti rough new beginning.

Baca juga: Seberapa Sehat Pernikahan Kamu? Cek Dengan 10 Pertanyaan Ini

Tak sampai dua tahun, perkawinan Roni dan Rani bubar.

Apa yang salah? Salah satunya, impian yang mengabaikan realita.

Saat kita jatuh cinta, emosi yang mendominasi, sementara rasio seolah absen sementara. Ini diperparah dengan ‘halusinasi’ akibat khayalan romantis serta kecenderungan kita bertingkah  manis dan menutupi karakter buruk demi menggaet hati pasangan.

Karena tiap kencan tampil wangi, kita cenderung percaya dia akan wangi terus. Karena pas pacaran, dia rajin nraktir, kita membayangkan dia bakal tetap begitu setelah menikah. Kita tak menyadari, saat sudah punya anak, pasangan bisa jadi nggak sempet mandi. Kita gagal membayangkan saat kebutuhan makin banyak, boro-boro buat nraktir pasangan, listrik terbayar saja sudah syukur.

Jadi menikah semengerikan itu yak? Nggak. Saya menikah dan andai waktu bisa diputar ulang saya akan tetap memilih menikah.

Banyak pasangan yang bahagia dalam pernikahan mereka, meski perjalanannya tak mulus. Yeah, tak ada pernikahan yang mulus sempurna. Justru kesadaran tentang ketakmulusan dan ketaksempurnaan itulah yang membuat mereka tetap bertahan saat badai menghantam.

Yang perlu digarisbawahi pula adalah pernikahan bukan akhir. Malah, pernikahan bisa jadi awal. Awal petaka atau awal bahagia.

Terakhir, saya pikir tak seharusnya pernikahan jadi tujuan. Pernikahan selayaknya ditempatkan sebagai (salah satu) sarana mencapai tujuan. Apa tujuan hidup Anda? Mengabdi pada kemanusiaan? Mengembangkan ilmu pengetahuan? Menyelamatkan bumi?   Pasangan yang tepat dan pernikahan yang baik bakal membantu Anda mewujudkannya.

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi