Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts.
Winston Churchill

Bila Anak Bukan Kertas Kosong

author
Ken Terate
Kamis, 7 November 2019 | 12:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

Paradigma “Anak adalah kertas kosong” sudah patah sejak lama. Dulu orang tua percaya anak selayaknya kertas kosong yang bisa digambari sesukanya. Bagus atau jeleknya gambar tergantung pada yang menggambari, yaitu keluarga dan orang-orang di sekelilingnya.

Berbagai penelitian akhirnya mengungkapkan anak terlahir lengkap dengan sifat baik dan buruk, termasuk karakter unik masing-masing. Mau lahir dari rahim yang sama (bahkan kembar), diasuh dengan pola yang nyaris sama, diberi makanan yang sama, tak berarti mereka bakal tumbuh sama.  

Orang tua yang memiliki lebih dari satu anak pasti bisa melihat anak-anak mereka punya persamaan dan perbedaan yang kadang bikin terheran-heran.  

Anak pertama saya nggak doyan pepaya. Saya pikir mungkin karena waktu bayi ia terlalu sering diberi pepaya. Ini saya jadikan pelajaran. Sewaktu anak kedua mulai makan mpasi, saya memberinya pepaya dalam jumlah sedikit dan sejarang mungkin. Hasilnya? Dia menolak sejak awal. Duh, kenapa dua anak ini kompak nggak doyan buah yang murah meriah sehat ini, sih? Padahal saya dan suami penggemar pepaya. Untunglah mereka tak punya masalah mengkonsumsi buah lain.

Beda ceritanya dengan protein. Si kakak adalah penggemar daging sapi. Adiknya? Nggak doyan. Apa makanan kesukaannya? Tempe tahu; makanan yang paling dibenci oleh si kakak. Lah, padahal tahapan belajar dan ragam menu yang saya berikan pada mereka sejak bayi nyaris sama, lho.

Baca juga: Menikah, Tak Selalu Seindah Bayangan

Itu baru soal makanan. Sewaktu kecil, indera peraba si sulung agak ‘hypersensitive’. Kakinya tak bisa menapak di permukaan kasar. Meski sudah dilatih, ia nyaris nggak bisa lepas dari sandal. Si adik kebalikannya; ogah mengenakan sandal sampai-sampai saya khawatir telapaknya bakal terluka.

| SHUTTERSTOCK

Pada usia empat tahun, si adik mendadak bisa memegang pensil dan menggambar. Tak ada yang mengajari. Saya dan suami heran karena tak satu pun dari kami suka, apalagi, berbakat menggambar. Kalau itu bukan semacam ‘software’ bawaan yang tertanam ‘dari sononya’ kami tak tahu lagi, deh.

Bila dirinci, daftarnya pasti panjang. Itu baru keluarga dengan dua anak ya. Bayangkan ada lima atau enam anggota keluarga dengan selera makan berbeda, gaya belajar berbeda, plus alergi yang berbeda.  

Baca juga: Traveling Bareng Si Kecil

Pelajaran tentang unconditional love --cinta tanpa syarat-- langsung menjelma. Saat si anak kedua belum lulus toilet training waktu berumur tiga tahun (bahkan kadang masih pakai diaper), saya sempet sewot. Bagaimana nggak, kakaknya udah beres urusan toilet-nya saat ia belum lagi dua tahun. Metode toilet training yang saya terapkan sama lho padahal. Nah, ini dia, anaknya berbeda, tapi saya tetap menggunakan metode yang sama dan mengharapkan hasil yang sama pula. Ugh, saya ditampar kenyataan untuk tidak perlu membanding-bandingnya. Si Adik akhirnya tuntas toilet training saat berusia empat tahun, setelah saya pasrah –dalam arti positif.

Alih-alih memandang anak sebagai kertas kosong, saya belajar memandang mereka sebagai benih. Benih padi akan tumbuh sebagai padi. Mau diakali kayak apa pun, dia nggak bakal berubah jadi jagung. Jadi nggak perlu diapa-apain, nih? Ya, perlu dong. Agar tumbuh baik, bibit harus dirawat secermat mungkin dalam lingkungan yang sesuai. Itu pun kadang mereka tumbuh tak sesuai harapan kita. Terus? Tetap cintai tanpa syarat.

Yang terakhir, ini tentang menerima. Saat kita dikarunia bibit padi, nggak usah nggerundel kenapa kita nggak mendapatkan bibit durian. Nggak usah iri melihat tetangga yang bisa membesarkan bibit melon super. Tinggal kita cintai dan kita rawat baik-baik.

 

 

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi