Too much love never spoils children. Children become spoiled when we substitute presents for presence.
Anthony Withman

Perempuan Bekerja, Tidak Melulu Soal Uang

author
Ken Terate
Rabu, 13 November 2019 | 12:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

“Perempuan itu kalau udah punya anak dan suaminya menanggung semua kebutuhannya, baiknya nggak usah kerja lah. Biar bisa menyusui anaknya full,” demikian pernyataan seorang laki-laki di sebuah WAG.

“Waduh, aku bisa edan kalau nggak kerja,” sahut seorang rekan perempuan. “Bosen banget tau di rumah terus. Coba, kamu bisa nggak, enam bulan bahkan lebih cuma di rumah ngurusi bayi. Kalau jalan-jalan paling ke minimarket buat beli pampers. Makan di luar bareng pasangan seminggu sekali pas pasangan libur. Itu pun yang nggendong bayi ya tetep… kamu!”

“Haha bener banget. Aku justru disuruh kerja sama suamiku. Biar aku ngomelin teman kerja, bukan ngomelin dia dan anak-anak,” timpal yang lain.

“Lha emang nggk boleh, perempuan bermanfaat untuk masyarakat luas? Mengamalkan ilmunya buat kemanusiaan?”

Bener juga, kan? Bener, ada perempuan yang happy saat menjadi stay-home-home, tapi  yang blingsatan kalau nggak mendapat tantangan yang lebih rumit dibanding ‘membuat Mpasi yang baik dan benar’ juga banyak. Selain itu, sayang sekali kan bila srikandi-srikandi  hebat seperti Ibu Susi Pujiastuti dan Bu Risma Harini tidak mengamalkan keahlian mereka?

Ada banyak alasan mengapa wanita bekerja, dan uang hanyalah salah satunya. Seorang teman bercerita, ia harus nombok untuk bekerja. Kok bisa? Ternyata ia mengajar di sebuah desa terpencil dengan gaji yang bahkan nggak nutup ongkos transportasi. Ia bisa mudah melepas pekerjaan merugikan itu, toh ia bisa hidup dari gaji suaminya. Tetapi katanya, “Kasihan anak-anak itu. Mereka butuh guru. Aku bisa melakukannya. Jadi, mengapa tidak?” Bekerja bisa menjadi ajang aktualisasi dan eksistensi perempuan ternyata.  Juga kekuatan sosial.

Baca juga: Menikah, Tak Selalu Seindah Bayangan

Beberapa hari belakangan viral sebuah cerita tentang seorang istri yang mendadak ditinggal suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan lain.  Dari hidup serba mudah, si istri mendadak jungkir balik menghidupi empat anak yang semua berada dalam asuhannya.

Ini bukan kejadian pertama dan pasti bukan yang terakhir. Bisa jadi kita sekarang punya suami baik-baik dan mencukupi kebutuhan kita sehingga kita berkeyakinan, “Suamiku nggak bakal selingkuh dan ninggalin aku. Dia tipe setia, kok.”

Hm, saya yakin si istri di atas juga punya anggapan sama. Tetapi kenyataannya?

Kejadiannya bisa lebih buruk. Istri ditampar, diselingkuhi, dan diperbudak bukanlah cerita isapan jempol. Kenapa dia bertahan? Alasannya terdengar ‘sepele’ tapi sesungguhnya berat, “Kalau aku bercerai, terus aku dan anak-anak makan apa?”

Di salah satu grup Facebook yang saya ikuti, tak hanya satu dua perempuan yang mengeluhkan suami pelit di luar nalar. Ada yang curhat ia pernah pegang uang sama sekali meski suaminya berpenghasilan cukup. Alasan si suami, “Toh, aku udah penuhi semua kebutuhanmu. Ngapain kamu butuh pegang uang?”

Nyesek nggak sih, ketika kita sebagai orang dewasa bahkan nggak bisa jajan siomay sekali-kali tanpa harus meminta, bahkan mengemis?

Menurut saya perempuan harus bisa mandiri simply karena ia manusia. Manusia butuh bisa bertahan hidup. Syukur bila kita punya pasangan yang bisa diajak bekerja sama berbagi tugas, misalnya satu mencari nafkah, satu mengurus rumah dengan sukarela. Tetapi itu pun bukan jaminan. Si pencari nafkah bisa mendadak jatuh sakit,  kehilangan pekerjaan atau jatuh bangkrut. Bukan mendoakan yang jelek-jelek, namun untuk bersiap dalam situasi yang buruk sekali pun. Tentu saja, menjadi ibu rumah tangga penuh waktu adalah prestasi luar biasa, apalagi bila itu pilihan. Yang paling penting adalah, kita tetap berdaya.

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi