“Kalau liat postingan Mom X, aku terintimidasi. Aku jadi merasa payah banget sebagai ibu,” keluh seorang teman, sebut saja Mia.
Mom X yang dia sebut memang dapat dibilang ibu teladan. Postingannya selalu petuah bijak atau foto/video kegiatan anak-anaknya yang wow; resital piano, kejuaran wushu, lomba keagamaan, atau simply percakapan si anak tentang revolusi industri.
Saya bisa merasakan apa yang dirasakan Mia. Saya dulu juga pernah (eh, kadang masih sampai sekarang) terintimidasi bila melihat postingan teman tentang anaknya yang berprestasi. Umur lima tahun udah bisa baca dengan lancar, udah ikut kejuaraan olahraga. Atau yang sepele aja deh, udah bisa goreng telur.
Lha apa kabar anak saya, yang umur delapan belum juga bisa membaca. Pas umur enam, jangankan ikut kejuaraan, disuruh jadi peserta lomba makan kerupuk tingkat RT aja melempem. Bisa goreng telur? Boro-boro. Bisa memecahkan telur ke mangkok aja udah bisa jadi alasan bagi saya buat menggelar syukuran. Saya bayangkan betapa bangganya si orangtua punya anak cerdas seperti Mom X. Diam-diam saya ‘protes’, kenapa anak saya nggak seperti itu.
Ndilalah, dalam suatu kesempatan saya bertemu si anak jenius ini bersama ibunya. Tapi baru sebentar berinteraksi saya sudah mendengarnya berteriak. “Bundaaaaa, aku mau mainan ituuu! Ambilkan!” Teriakan si anak membuat saya kaget bukan kepalang. Ini… apakah ini anak jenius yang sama dengan yang sering diposting ibunya?
Baca juga: Perempuan Bekerja, Tidak Melulu Soal Uang
Tak sampai setengah jam, anak itu sudah menggerataki barang yang bukan miliknya, menyela pembicaraan orang tanpa permisi dan lain-lain dan lain-lain yang membuat saya pening.
Mom X, sebagai Bunda Super, saya lihat supersabar mengarahkan anaknya serta menegurnya dengan tegas dan lembut. Si anak juga dalam sekejap menuruti si ibu. Tetapi, dalam sekejap pula dia sudah beralih ke ‘ulah’ lain.
Saat itu saya mensyukuri anak-anak saya, yang mungkin bisa dilabeli ‘late bloomer’, nyaris tak pernah mengacau. Tak pernah tantrum. Tak pernah merebut mainan temannya (merebut mainan saudaranya sih iya).
Baca juga: Bila Anak Bukan Kertas Kosong
Saya tidak menghakimi si anak jenius. Saya sadari, itulah bagian melekat tumbuh kembangnya. Saya hanya seperti diingatkan betapa naifnya saya. Sudah jadi hukum alam tiap manusia punya sisi terang dan gelap. Tanpa ditulis dalam buku panduan pernikahan, saya tahu tiap keluarga punya tantangan sendiri. Mau seindah apa pun postingan mereka di medsos, mau secakep apa pun perilaku mereka di muka umum, pasti ada perjuangan yang tak akan pernah saya ketahui sepenuhnya.
Lagipula aneh juga mengapa saya dan ibu-ibu lain merasa terintimidasi oleh postingan semacam itu. Saya yakin kok mereka yang posting tak bermaksud mengintimidasi. Menyombongkan diri pun tidak. Lah, kalau saya terintimidasi, sayalah yang bermasalah, ya kan?
Alih-alih saya seharusnya mencari pelajaran dari keluarga yang saya anggap hebat. Kalau mereka konsisten olahraga, bisa dong saya contek caranya. Kalau mereka bisa mengajari anaknya makan makanan sehat, saya bisa intip tipsnya.
Pepatah bilang, rumput tetangga selalu lebih hijau. Bagaimana dengan rumput kita? Boro-boro menghijau, tumbuh aja tersendat-sendat. Oke saja sekali-kali melirik rumput tetangga, tetapi kalau kita terlalu banyak melirik rumput tetangga sampai terintimidasi (padahal si tetangga nggak berniat mengintimidasi kita), bisa jadi kita terlalu sibuk ngurusin orang lain sampai lupa untuk merawat dan mensyukuri apa yang kita punya, yang walau mungkin nggak terlihat sehebat rumput tetangga, tapi pasti bakal indah juga bila kita rawat dengan baik.
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.