Saya belajar berenang setelah punya anak. Itu karena terpaksa. Saya tak ingin anak saya malas olahraga seperti saya. Renang saya pilih karena olahraga ini selain bermanfaat juga disenangi anak-anak pada umumnya. Masalahnya, kalau saya tidak bisa berenang, bagaimana saya bisa mendampinginya? Memang ada pelatih, sih, tetapi masa tiap anak pengin renang, harus menunggu pelatih?
Bertahun-tahun sebelumnya ada teman kerja yang ngajak saya belajar renang. Dia kaget waktu tahu saya nggak bisa renang. “Serius? Yuk, kuajarin.” Dengan dalih ini itu saya menolak. Sebenarnya saya malu dan malas. Setelah punya anak, rasa ini saya singkirkan. Masa saya nyuruh anak belajar, tapi saya sendiri ogah? Saya berusaha memberi contoh. tak perlu malu untuk belajar, pada usia berapa pun.
Nyatanya, rasa malu itu tetap ada. Bagaimana nggak, demi efisiensi saya belajar bareng anak saya dan teman-temannya. Jadilah saya murid tertua sekaligus murid terkikuk. Namun, saya putuskan untuk terus maju. Kini kemampuan renang saya nggak bagus-bagus amat. Hanya dua gaya yang saya kuasai, itu pun nggak sempurna. Saya juga tetap gugup di kolam dalam. Tapi cukuplah buat mendampingi anak-anak saat mereka nyemplung.
Bonus besarnya adalah: sense of accomplishment, perasaan senang karena mencapai sesuatu, yang awalnya bahkan terasa tak mungkin. Tapi, yang paling penting adalah kebisaan bertambah. Seremeh apa pun kelihatannya, setiap keterampilan tak pernah sia-sia. Dalam kasus saya, yup, saya tahu saya nggak bakal jadi atlet, tapi kami jadi bisa bersenang-senang di kolam sekeluarga.
Beberapa teman saya ternyata juga memulai belajar sesuatu yang baru setelah berusia kepala tiga. Ada yang belajar nyetir, ada yang ambil kuliah (S1 yang beda jurusan dengan yang sudah ia ambil sepuluh tahun lalu), ada yang ikut pelatihan nulis skenario.
Baca juga: Perempuan Bekerja, Tidak Melulu Soal Uang
Alasannya macam-macam; ada yang karena kepepet, seperti Yuni yang yang belajar nyetir karena suaminya yang biasanya menyopiri Yuni ke mana-mana mendapat tugas belajar di luar negeri selama dua tahun.
Ada pula yang belajar demi mencari penghasilan, seperti ikut kursus jualan online atau trading. Namun, banyak sekali yang alasannya adalah tertarik. Sesederhana itu. Meski harus berjibaku membagi waktu, mereka merasa belajar di usia dewasa ternyata lebih menyenangkan karena sesuai pilihan.
Yup, keuntungan belajar saat dewasa adalah kita punya kebebasan. Dulu kita sekolah karena diharuskan. Kuliah pun kadang jurusannya nggak sesuai minat karena berbagai alasan. Meski sengsara, kita nggak bisa berhenti karena bakal berkonflik dengan orangtua yang sudah mengeluarkan uang banyak.
Mira contohnya. Ia kuliah lagi di Universitas Terbuka jurusan pendidikan saat usianya 35. Dapat dikatakan ia banting setir karena ia dulu lulus dari jurusan teknik. Apakah Mira ingin jadi guru? Tidak juga. Ia sudah puas menjadi ibu rumah tangga nyambi berjualan online. Kenapa dia kuliah? Dia menyadari sejak dulu sebenarnya ia tertarik pada dunia pendidikan. Ia punya bayangan membuka sekolah kecil entah kapan. “Tapi andaipun itu nggak tercapai, minimal ilmunya bisa ngajari anak-anakku.” Bagi Mira belajar tak seharusnya berhenti setelah kita menuntaskan jenjang tertentu. Belajar adalah proses seumur hidup.
Beruntung perempuan sekarang dapat belajar dari banyak sumber. Internet membuka peluang tak terbatas. Mau belajar bikin kue? Bisa. Mau belajar gitar? Bisa. Mau ikut kelas kecantikan? Gampang. Selama punya niat, pasti bisa.
Kepuasannya? Tak terkira. Apalagi misalnya ternyata keahlian baru kita mendatangkan manfaat, entah dalam bentuk uang, teman, atau perasaan ‘ternyata aku mampu’. Setelah bisa nyetir, Yuni merasa lebih lincah. Tak hanya bisa mengantar anak les, ia bisa mengantar orangtuanya ke acara reuni tanpa tergantung pada suami.
Udah banyak cerita, perempuan-perempuan sukses karena keterampilan yang belum lama mereka pelajari. Jadi, ayo terus belajar. Mau belajar macramé, decoupage, ecoprint, atau meracik kopi? Atau malah pengin kuliah lagi? Filsafat mungkin. Sttt, anak-anak pasti terinspirasi, loh.