Being a parent has made me more open, more connected to myself, more happy, and more creative. I’m more discerning in what I do and how I do it. It’s just made me a better person all the way around.
Alicia Keys

Tangani Breath Holding Spell, Anak Menangis Sampai Henti Napas

author
Ratih Sukma Pertiwi
Jumat, 17 April 2020 | 14:43 WIB
Breath holding spell biasanya hanya terjadi dalam satu menit. | SHUTTERSTOCK

 

Bayi atau batita Bunda menangis tanpa keluar suara dan napasnya berhenti hingga wajahnya membiru atau memucat. Bisa jadi si kecil mengalami breath holding spell (BHS).

Kondisi BHS merupakan refleks abnormal yang dialami bayi usia 6 bulan hingga 2 tahun, namun bisa memanjang hingga usia 4-6 tahun. Biasanya BHS terjadi karena penurunan detak jantung yang dipicu oleh rasa takut, marah, sakit, panik, terkejut atau dikejutkan.

Ciri-cirinya adalah anak akan menangis keras tanpa suara lalu menahan napasnya hingga wajahnya membiru atau memucat dan tubuhnya seperti kaku atau kejang, bahkan bisa kehilangan kesadaran.

Penyebab BHS belum diketahui dengan pasti. Pada beberapa kasus anak BHS ditemukan adanya riwayat BHS pada keluarganya. Penyebab lainnya berkaitan dengan anemia defisiensi zat besi sehingga tubuh kekurangan jumlah sel darah merah.

Tetapi umumnya BHS terjadi hanya dalam waktu 1 menit dan akan normal kembali dengan sendirinya. BHS bisa terjadi seminggu sekali bahkan setiap hari, tidak disengaja, bukan epilepsi, dan tidak menyebabkan kerusakan otak.

 

Baca juga: Kok, Bayi Menangis Setelah Disusui atau Diberi Makan?

 

Ada dua jenis BHS:

1.Cyanotic BHS

Anak bernapas dengan lebih cepat atau keras. Ketika melepas napas, ada jeda panjang sebelum ia menarik napas kembali. Saat berhenti napas inilah wajah anak jadi membiru atau keunguan.

2.Pallid BHS

Detak jantung melambat, anak menangis tanpa suara dan menahan napasnya. Kulit anak berubah menjadi pucat dan berkeringat.

 

Baca juga: White Noise, Ampuh Bikin Bayi Berhenti Menangis

 

Apa yang Bunda bisa lakukan ketika serangan BHS terjadi?

  • Tetap tenang agar anak tidak tambah terpancing panik, takut, atau emosi.
  • Baringkan anak di tempat yang aman agar aliran darah ke otak lebih lancar dan meredakan kejang.
  • Hindari memasukkan obat atau apapun ke mulutnya.
  • Hindari benda keras dan tajam.
  • Kompres dahi dengan air normal atau dingin agar kesadarannya cepat pulih.
  • Catat waktu datang serangan dan lama serangan.

 

Beberapa cara juga bisa Bunda lakukan untuk mencegah atau meminimalisir tingkat keparahan BHS, yaitu:

1.Kenali Pola

Apakah serangan selalu terjadi jika anak ketakutan ditinggal, terjatuh, panik di tempat gelap, marah karena sesuatu hal, atau terkejut/dikejutkan.

Atau justru anak pernah mengalami masalah psikologis seperti bullying, kekerasan dari orang tertentu, atau sibling rivalry.

Coba Bunda kenali polanya dan bantu anak mengatasi kecemasannya tersebut agar BHS bisa dihindari. Jangan orang tua bereaksi berlebihan pada anak, termasuk melindungi berlebihan.

2.Alihkan Perhatian

Saat tanda-tanda BHS mulai datang, coba alihkan perhatian si kecil. Misalnya, dengan mengajaknya bermain, mengobrol, menggendong, atau memeluknya.

Pelukan, menenangkan anak dari BHS. | SHUTTERSTOCK

 

3.Aktivitas Menyenangkan

Rutin melakukan aktivitas yang menyenangnya dan membuat anak rileks sehingga fisik dan mentalnya lebih sehat.

4.Beri Pujian

Jangan pelit memberikan pujian pada anak atas sekecil apapun pencapaiannya sehingga ia merasa percaya diri dan tidak mudah frustasi.

5.Beri Pilihan

Untuk mengembangkan kemampuan problem solvingnya, biarkan anak menentukan pilihannya sendiri.

 

Baca juga: Bayi Selalu Menangis Saat Digantikan Baju? Ini Tips Menghadapinya

 

Ke Dokter Jika…

Meski tidak membahayakan, jika kondisi BHS tidak membaik dalam waktu 1 menit dan frekuensinya semakin sering, misalnya dari seminggu sekali menjadi setiap hari, sebaiknya Bunda segera bawa ke rumah sakit.

Biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan kadar zat besi lewat tes darah, karena ternyata anak yang menderita anemia berpotensi lebih sering mengalami BHS.

Bisa juga dilakukan pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) dan Electroencephalogram (EEG) untuk mengetahui apakah ada potensi epilepsi.

 

 

Penulis Ratih Sukma Pertiwi
Editor Ratih Sukma Pertiwi