Selama belasan tahun ayah bungkam perihal kematian ibu. Sampai sebuah kotak rahasia terbuka.
Semua bermula 26 tahun lalu, di hari ulang tahunku yang ke-18. Aku, Iain Cunningham, mendapat ‘hadiah’ dari ayah sebuah kotak berukuran cukup besar, warnanya cokelat, dan diselimuti debu.
Ketika kubuka, isinya barang-barang perempuan yang terlihat usang. Album foto, buku, tas, serta beberapa barang lainnya.
Mataku tak bisa beralih dari album foto bergambar bayi laki-laki yang menggemaskan. Kubuka perlahan dan terpampanglah foto-foto seorang perempuan dengan bayi laki-laki.
Ayah bilang, perempuan itu adalah ibuku, Irene Cunningham. Wajah yang telah kulupa sepanjang 18 tahun hidupku. Dan, si bayi laki-laki itu adalah aku.
Di dalam album foto tersebut ibu mendokumentasikan hidupku sejak lahir. Tertulis keterangan kapan aku lahir, hingga warna mataku.
Kutelusuri juga foto-foto pernikahan orang tuaku. Terselip figurine plastik sepasang pengantin yang biasanya terdapat di atas cake pengantin.
Lalu ada beberapa barang yang pernah berjajar rapi di meja rias ibu. Sebuah kotak musik kayu berhias ballerina mungil. Dan, sisir yang bahkan masih menyimpan helaian rambutnya.
Selama belasan tahun ayah bungkam perihal kematian ibu yang terjadi saat usiaku belum genap 3 tahun. Jadi, hari itu betul-betul bagaikan pengalaman spiritual bagiku.
Baca juga: Perempuan Ini Rela Donorkan Ginjalnya Untuk Sang Ayah Angkat
Kisah Cinta Don & Irene
Ayahku, Don Cunningham, baru berusia 18 tahun ketika pertama bertemu ibu saat berdansa di sebuah ballroom di Coventry. Keduanya jatuh cinta.
Don bekerja di perusahaan pembuat rem pesawat, sementara Irene yang berusia setahun lebih tua bekerja di pabrik tekstil di Nuneaton.
Kondisi ekonomi Inggris saat itu sedang susah. Don dan Irene harus berhemat, apalagi mereka berencana menikah. Namun sesekali mereka pergi juga ke pub tak jauh dari tempat tinggal mereka.
November 1973, orang tuaku menikah. Dua tahun kemudian ibu hamil, dan pada Januari 1976 aku lahir.
Kehadiranku membuat mereka sangat bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama…
Aku Bukan Irene!
Suatu hari ibu curhat pada sahabatnya bahwa ia mengalami halusinasi setelah melahirkanku. Ibu tak bisa tidur dan mulai menulis hal-hal aneh. Ibu bahkan bilang ke nenek, “Aku bukan Irene, aku hantu Irene.”
Ayah khawatir dan langsung membawa ibu ke dokter. Diagnosis dokter, postnatal depression. Ibu dirujuk ke psikiater dan menjalani electroconvulsive therapy (ECT).
Perilaku ibu berubah drastis. Terkadang ia tak merespon apapun, bahkan tak bergerak seperti orang koma. Lain waktu ia hanya duduk dan menatap kosong ke satu arah.
Ayah benar-benar kelelahan. Setiap hari ia harus mengasuhku, bekerja, dan mengunjungi ibu setiap malam di rumah sakit.
Ayah juga merasa bingung karena saat itu dokter tidak banyak memberi informasi soal penyakit ibu. Setiap malam ayah hanya bisa duduk di samping ibu yang bagaikan orang asing.
Sembilan bulan ibu dirawat, kondisinya membaik dan diperbolehkan pulang. Kami akhirnya bisa hidup bahagia. Terkadang ibu membawaku berjalan-jalan ke taman, kafe, atau mengunjungi sahabatnya.
Namun kebahagiaan kami hanya berlangsung 18 bulan. Ibu kembali berperilaku aneh. Ia tak berhenti bicara sendiri sampai-sampai tidak tidur. Akhirnya, ibu kembali masuk rumah sakit.
Baca juga: Ternyata, Suaminya Adalah Pendonornya 11 Tahun Lalu
Ibu Pergi Selamanya…
Tiga bulan kemudian. Suatu pagi di bulan Oktober, ayah mendapat telepon di kantornya. Kakak ayah, Tom, mengabarkan ibu meninggal.
Ayah diminta memeriksa jenazah ibu di rumah sakit. Tak ada penjelasan lebih lanjut soal kematiannya. Ayah merasa hidupnya hancur berkeping-keping di usianya yang masih 28 tahun.
Aku masih kecil saat itu, kurang dari tiga tahun. Ingatanku soal ibu tidak banyak. Setiap kali kubahas soal ibu, ayah seakan mengalihkan pembicaraan.
Anggota keluarga lain juga tak pernah menyinggung soal ibu. Hanya nenek yang terkadang mau kuajak bicara soal ibu. Wajah ibu semakin memudar dari kenanganku.
Baca juga: Bunda, Ini 7 Gejala dan Cara Mengatasi Postnatal Anxiety
Kotak Rahasia di Loteng
Beberapa tahun setelah ibu meninggal, ayah menikah dengan Judith. Aku dan ibu baruku cukup dekat.
Ayah semakin jarang berhubungan dengan keluarga ibu dan tetap bungkam soal ibu. Mungkin hati ayah masih sakit setiap mengingatnya dan ingin fokus membangun keluarga baru.
Sampai pada akhirnya, di ulang tahunku yang ke 18 itulah untuk pertama kalinya ayah membuka kotak berisi barang-barang ibu yang telah 15 tahun tersimpan di loteng.
Namun hanya album bayi yang bisa kusimpan. Barang lain langsung dikembalikan ayah ke loteng. Dan, setelah itu tidak ada lagi pembicaraan soal ibu.
Sampai pada saat aku berusia 30 tahun dan sudah memiliki keluarga sendiri. Aku merasa ingin kembali menyusun ingatan tentang ibu. Apalagi putri tertuaku sudah berusia 3 tahun, usia yang sama saat aku kehilangan ibu. Aku juga ingin anak-anaku mengenal sosok neneknya.
Lalu aku pun meminta izin pada ayah untuk menurunkan kembali kotak di loteng, untuk pertama kalinya sejak dibuka pada ulang tahunku yang ke 18.
Aku juga beriklan di surat kabar untuk mengumpulkan informasi dari orang-orang yang mengenal ibuku semasa hidupnya. Dari sahabatnya, teman sekolah, keluarga, tetangga, teman kerja, siapapun yang mau berbagi cerita dan foto ibu.
Banyak dari mereka bilang wajahku mirip ibu. Mereka juga bilang, ibu adalah pribadi yang menyenangkan dan penuh semangat.
Cerita-cerita mereka tentang ibu membuat hatiku hangat. Aku merasa lebih mengenal ibuku.
Baca juga: Ini Perbedaan Baby Blues dan Postpartum Depression
Bipolar Disorder
Sejujurnya aku masih merasa ada yang mengganjal soal ibu. Ayah ternyata juga merasa demikian. Kami merasa tidak mendapat informasi jelas apa yang sebenarnya terjadi pada kesehatan ibu saat itu. Sebelum melahirkanku, toh, ibu baik-baik saja. Proses kelahiranku pun normal.
Dua tahun lebih aku menelusuri rekam medis ibu. Dokter Alain Gregoire, NHS konsultan psikiatri ibu dan bayi, sampai pada kesimpulan ibuku mengalami postpartum psychosis, atau sekarang disebut sebagai bipolar disorder.
Menurut Dokter Alain, 1 dari 500 ibu menderita gangguan kesehatan mental ini setelah melahirkan. Gejala postpartum psychosis biasanya muncul dalam dua minggu setelah melahirkan, atau bisa lebih.
Gejalanya antara lain halusinasi, delusi, swing mood, menarik diri, menangis tanpa sebab, kurang berenergi, hilang nafsu makan, kecemasan, kebingungan, sulit tidur, berperilaku tidak seperti biasanya. Jika terjadi gejala seperti ini sebaiknya segera mintalah pertolongan medis.
Pendapat dokter-dokter lain yang kutemui, penyebab kematian ibu kemungkinan karena konsumsi obat-obatan antipsychotic yang menjadi racun bagi tubuh dan menimbulkan gangguan pada hati.
Ya, apapun hasil pencarianku, pada akhirnya aku merasa lega bisa mendapat gambaran tentang ibuku, meski belum sepenuhnya utuh.
Kotak kenangan ibu kini tersimpan di rumahku. Putri tertuaku juga memajang foto sang nenek di dinding kamarnya.
Terkadang rasanya masih sakit membayangkan momen-momen traumatik ibu saat berjuang di rumah sakit. Namun dari sekian banyak rekam medis ibu yang kutelusuri, aku berhasil menemukan sebuah transkrip percakapan ibu dengan seorang staf medis. Di situ ibu berkata, ia mencintai suaminya dan menyukaiku. Bagiku, itu sangat berarti.