Setiap tanggal 2 April diperingati sebagai World Autism Awareness Day. Peringatan ini dibuat dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kondisi autisme khususnya pada anak-anak.
Tahun ini, World Autism Awareness Day diperingati untuk ke-14 kalinya. Masih dengan semangat dan pesan yang sama seperti saat pertama kali ditetapkan, World Autism Awareness Day memiliki visi untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang autisme sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan penuh makna sebagai bagian dari masyarakat.
Berbagai kegiatan ya melibatkan penyandang autisme dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat umum tentang apa itu autisme dan betapa penyandang autisme memiliki hak sama dengan individu lainnya tanpa harus terhalang stigma yang membatasi kesempatan mereka untuk mencapai kesuksesan.
Apa itu Autisme?
Autisme kini disebut sebagai gangguan spectrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD). WHO menyebutkan bahwa autisme terjadi pada 1 dari 160 anak di seluruh dunia. Autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi sejak masa awal kehidupan anak. Gangguannya beraneka ragam, seperti kesulitan komunikasi, interaksi sosial, perilaku dan aktivitas yang terlihat kaku dan berbeda dengan anak pada umumnya, dan lain sebagainya.
Saat ini ada 3 kategori ASD, yaitu gangguan autisme secara general, Sindrom Asperger dan PDD-NOS atau autism atopic.
Dilansir dari autisme.co.id, ada dua pengelompokan orang atau anak dengan autisme berdasarkan tingkat keparahan gejalanya. “High function” atau anak-anak penyandang autisme yang dapat mengontrol perilakunya namun memiliki kesulitan dalam berteman, dan “low function”, yaitu mereka yang cenderung mudah tantrum atau berperilaku kurang baik di kehidupan sosial.
Baca juga: Inspirasi Dian Sastro Besarkan Putranya Yang Menderita Autisme
Apa Cirinya Seorang Anak Menyandang Autisme?
Karena autisme merupakan gangguan perkembangan, cara melakukan deteksi dini adalah dengan memperhatikan perkembangan bayi sejak lahir, apakah sudah sesuai dan mampu mencapai milestone sebagaimana bayi pada umumnya.
Di bawah ini adalah beberapa hal-hal sederhana yang sudah dapat dilakukan bayi sejak masa kelahirannya. Jika seorang bayi tidak melakukan beberapa hal di bawah ini, bisa jadi bayi tersebut memiliki autisme.
- Mengikuti objek secara visual saat distimulasi oleh orang di sekitarnya
- Mengikuti gerakan orang menunjuk benda
- Melakukan kontak mata
- Merespon pada suara yang familiar atau saat disebut namanya
- Meniru ekspresi wajah seperti tersenyum
- Membuat suara untuk mendapat perhatian orang
Sedangkan pada anak yang lebih besar, umumnya dapat melakukan hal-hal di bawah ini jika tidak memiliki autisme.
- Merespon pelukan atau ajakan bermain
- Memulai pelukan atau minta digendong
- Meminta bantuan saat mengalami kesulitan
Baca juga: Autisme Tidak menular, Kenali 7 Ciri-Cirinya
Memilik Anak dengan Autisme, Apa yang Harus Bunda Lakukan?
Meski telah menunjukan ciri-ciri memiliki autisme karena tidak melakukan poin-poin seperti yang dijelaskan di atas, seorang anak baru dapat dikatakan benar-benar menyandang autisme jika telah menemui ahli kesehatan atau dokter yang berkompeten setelah mendapat rangkaian tes atau pengecekan.
Mencari pertolongan ahli dan profesional dapat sangat bermanfaat. Intervensi dini dapat menyelesaikan beberapa isu penting sebelum makin parah. Banyak anak dengan autisme dapat membaik setelah mendapatkan berbagai perawatan yang tepat dan cepat. Kalaupun tidak sepenuhnya pulih, mereka yang mendapat tindakan tepat sejak dini setidaknya mampu bergabung dengan sekolah regular.
Baca juga: Kata Dokter: Anak Autis Karena Vaksin, Mitos atau Fakta?
Mitos dan Stigma Seputar Autisme
Bunda pernah mendengar komentar atau cerita orang yang mengatakan bahwa autisme disebabkan oleh kesalahan pola asuh atau trauma masa kecil? Tentu saja anggapan ini salah. Bahkan kadang, mereka yang sebenarnya tidak paham tentang autisme menganggap kondisi ini disebabkan oleh sifat anak atau seseorang yang sangat pemalu. Faktanya, hampir semua peneliti sepakat bahwa autisme disebabkan oleh faktor genetis.
Idealnya masyarakat tidak lagi menggunakan kata autisme atau autis untuk menjuluki orang tanpa autisme yang memiliki sifat pemalu, pendiam dan menarik diri dari pergaulan secara sadar.
Anak dengan autisme tidak dapat membuat pilihan atau keputusan sendiri dengan tingkah lakunya. Mereka berada dalam kondisi autisme bukan karena keinginannya sendiri. Sehingga pada situasi tertentu, menjadikan autisme sebagai bahan lelucon dapat menimbulkan ketidaknyamanan bahkan amarah pada mereka yang memiliki anggota keluarga seorang penyandang autisme – khususnya orang tua.
Sejak bertahun-tahun lalu, kampanye untuk menghentikan penggunaan kata ‘autis’ sebagai lelucon atau bercandaan telah digencarkan. Meski belum sepenuhnya ditinggalkan, sudah banyak orang yang menyadarinya dan berhenti melakukannya. Termasuk mengingatkan orang di sekitar yang masih menggunakan kata autis untuk bercanda.
Catatan Penting Tentang Autisme
Perlu diketahui bahwa autisme bukan penyakit menular. Sehingga tidak ada alasan untuk menjaga jarak dengan para penyandang autisme, termasuk melarang anak bergaul dengan anak penyandang autisme.
Para penyandang autisme bukanlah orang yang tidak berdaya. Banyak di antara mereka yang justru memiliki bakat hebat bahkan pantas disebut jenius. Pada akhirnya, pilihan orang tua dalam memberi treatment pada anak dengan autisme lah yang menjadi kunci utama pengembangan bakat dan dalam meraih kesuksesan di masa depan.
Anak atau orang dengan autisme berhak diperlakukan secara normal dan mendapat kesempatan yang sama dengan semua orang pada umumnya.