There is no such thing as a perfect parent. So just be a real one.
Sue Atkins

Sinetron Zahra dan Pentingnya Pendidikan Seks Sesuai Usia

author
Ruth Sinambela
Selasa, 8 Juni 2021 | 12:31 WIB
| Shutterstock

 

Kalau Bunda selalu update dengan isu terkini yang banyak diperbincangkan di sosial media, pasti tahu belakangan banyak pihak sedang membahas satu sinetron yang menampilkan remaja perempuan di bawah umur berperan sebagai seorang istri muda.

Yap, sinetron yang sedang kita bicarakan adalah Suara Hati Istri yang tayang di Indosiar dan sering disebut dengan “Sinetron Zahra”.

Zahra sendiri adalah tokoh di dalam cerita sinetron ini yang merupakan seorang perempuan muda dan kemudian dijadikan istri ke-3 oleh tokoh utama pria bernama Pak Tirta. Pak Tirta dikisahkan sebagai seorang lelaki kaya raya pemilik kebun teh yang memberi hutang pada ayah Zahra.

Baru baca potongan ceritanya saja mungkin sudah banyak Bunda yang geleng-geleng kepala. Belum lagi kalau tahu beberapa fakta mengejutkan di balik sinetron ini. Hal pertama yang paling jadi masalah adalah fakta bahwa aktor yang memerankan tokoh Zahra ternyata masih berusia 15 tahun. Semakin menjadi perbincangan saat ada potongan gambar adegan “tempat tidur” dimana Zahra diceritakan sedang menjalani ‘malam pertama’ dengan Pak Tirta sebagai istri ke-3.

Berbagai pihak baik individu maupun komunitas (khususnya yang berlatar belakang perjuangan hak-hak perempuan) jadi yang pertama mengangkat masalah ini di sosial media. Mereka mengecam beberapa hal selain fakta bahwa pemeran Zahra adalah anak di bawah umur. Hal-hal tersebut di antaranya:

  1. Fakta bahwa cerita sinetron mempromosikan poligami dan mengglorifikasi maskulinitas laki-laki
  2. Sinetron secara eksplisit menampilkan adegan pedofil yang diromantisasi
  3. Cerita sinetron menormalisasi pernikahan anak, karena tokoh Zahra sendiri merupakan seorang siswi SMA

Ironisnya, meski banyak kalangan mengecam sinetron kontroversial ini, angka kejadian pernikahan anak sendiri sebenarnya cukup tinggi terjadi di Indonesia. Melansir dari halaman resmi Unicef, Indonesia mendapat peringat 8 sebagai negara dengan perkawinan anak terbesar di dunia. Pada tahun 2018 saja, sekitar 11% atau 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun dan 0,56% diantaranya telah menikah sebelum usia 15 tahun.

Hal yang perlu kita semua pahami adalah, perkawinan anak merenggut hak anak untuk memperoleh pendidikan yang baik, bermain, dan mencapai potensi mereka secara optimal. Di sisi lain, hilangnya kesempatan kerja karena tidak mendapatkan akses jaringan sosial, pengetahuan dan keterampilan baru serta sumber daya yang memungkinkan dalam pengembangan ekonomi jadi alasan juga mengapa perkawinan dini perlu dihindari.

Baca juga: Belum Matang, Ini 7 Penyebab Lain Gagalnya Pernikahan

| Shutterstock

 

Selain itu, mereka yang bersuara memberi pendapat terkait masalah ini juga mengecam adanya bentuk normalisasi dan glorifikasi perkawinan anak, pedofilia serta kekerasan seksual yang sangat mungkin dan hampir pasti terjadi dalam perkawinan dini.

Ernest Prakasa yang adalah seorang aktor, sutradara, sekaligus penulis juga angkat suara terkait persoalan ini. Di akun Instagram pribadinya, Ernest menulis: “Wahai @indosiar, ini keterlaluan. Sangat amat keterlaluan. Pemeran Zahra itu usianya masih 15 tahun. Okelah tolak ukur TV adalah rating, tapi tolak ukur manusia adalah nurani dan akal sehat. Menurut kalian ini wajar?

Penulis Ruth Sinambela
Editor Ratih Sukma Pertiwi