Kasus bunuh diri Novia Widyasari di makam sang ayah, karena depresi berat yang dideritanya, baru-baru ini, menambah daftar panjang korban dari hubungan tidak sehat atau toxic relationship. Novia Widyasari, merupakan salah satu korban dari toxic relationship yang tak sempat mendapat pertolongan mental juga keadilan, hingga menghembuskan napas terakhirnya. Lalu, apakah toxic relationship hanya terjadi pada hubungan kekasih saja?
Toxic relationship juga dapat terjadi di dalam pernikahan
Bukan hanya pada hubungan sepasang kekasih, Bun. Toxic relationship juga sering terjadi di dalam pernikahan, yakni antara suami dan istri. Ketika kedudukan istri dan suami yang harusnya setara, sebagai “partner” atau teman hidup, tak dapat direalisasikan. Sebaliknya malah menciptakan hubungan atasan dan bawahan, dimana suami lebih dominan, sedangkan istri dituntut tunduk sebagai bagian dari kodrat. Pada saat itulah kemungkinan besar kehidupan pernikahan menjadi tak sehat.
Baca Juga: Rayakan 20 Tahun Pernikahan, Ini Tips Tetap Harmonis Ala David and Victoria Beckham
Kenapa sih, toxic relationship lebih sering merugikan perempuan?
Budaya patriarki yang sampai saat ini masih berakar kuat di masyarakat, kemungkinan besar menjadi salah satu alasan utama. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi. Tak dapat dipungkiri hal ini menjadi salah satu masalah kompleks, yang sampai saat ini masih sulit untuk dibenahi.
Ciri-ciri pernikahan dengan toxic relationship
Pada dasarnya pernikahan akan berjalan baik ketika saling menghormati satu sama lain, terbiasa dilakukan di dalam kehidupan berumah tangga. Suami-istri sebaiknya membicarakan setiap masalah sebelum memutuskan atau menyimpulkan apapun yang berkaitan dengan pernikahan. Setiap pasangan pasti memiliki cara sendiri dalam mengatasi masalahnya masing-masing. Walau begitu, beberapa catatan atau “red flag” berikut ini, dapat Bunda pegang untuk menilai situasi yang tak bisa ditolerir dalam sebuah pernikahan.
- Kekerasan fisik yang berulang pada pasangan, anak-anak, maupun hewan. Kekerasan fisik biasanya juga disertai dengan kekerasan verbal, yaitu penghinaan, dan kata-kata kasar.
- Gaslighting, atau memanipulasi sedemikian rupa, sehingga pelan-pelan menurunkan kepercayaan diri hingga hilang sama sekali.
- Mengontrol terus-menerus, dan sering kali melakukannya dengan ancaman
- Cemburu yang tak beralasan dan berulang
- Perselingkuhan
- Penggunaan obat-obatan terlarang
- Hilangnya ikatan emosional
Baca Juga: Nasihat Pernikahan
2 hal yang paling dibutuhkan untuk dapat keluar dari toxic relationship
Sering terjadi, korban toxic relationship merasa tak berdaya dan sulit menentukan arah, sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk melepaskan diri. Pada kondisi yang lebih rumit, biasanya korban toxic relationship justru menghindar untuk bercerita kepada orang terdekat karena seperti sudah terbiasa dengan kekerasan-kekerasan yang diterima.
Kecenderungan orang lain untuk menasehati dan menghakimi juga menjadi alasan, mengapa korban toxic relationship enggan bercerita. Karena itulah 2 hal berikut ini sangat dibutuhkan untuk keluar dari toxic relationship:
- Keinginan dan keberanian kuat yang datang dari diri sendiri
- Dukungan serta bantuan dari keluarga dan orang terdekat
Baca Juga: 8 Rahasia Pernikahan Tetap Harmonis
Mencari jalan keluar memang tidak akan mudah. Sikap penerimaan, dan tidak menghujat apalagi menghakimi dari orang terdekat sangat dibutuhkan di saat-saat seperti ini. Penghakiman, apalagi hinaan, sekali lagi, akan menambah beban dan justru menyebabkan korban toxic relationship yang terjadi di dalam pernikahan maupun hubungan kekasih, lebih memilih untuk memendam sendiri kesedihan juga ketakutannya, yang mana apabila dibiarkan saja, dapat mengakibatkan depresi.