Satoshi Tajiri, pencipta dan pengembang game juga animasi Pokemon yang mendunia, mengakui kalau dirinya memiliki kondisi yang termasuk dalam spektrum autisme, yaitu sindrom asperger, sejak kecil.
Sindrom ini merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Ciri-ciri sindrom asperger pada anak misalnya, menghindari kontak mata, sulit berkomunikasi atau hanya berkomunikasi dengan orang yang dipercaya, sulit bersosialisasi, memiliki ketertarikan khusus pada sesuatu, fokus hanya pada satu hal, memiliki kemampuan hebat tentang pola, dan memiliki rutinitas tetap yang tak boleh diubah karena dapat membuatnya merasa tak nyaman dan ketakutan .
Mungkin saja Tajiri kecil juga mengalami beberapa atau semua ciri-ciri sindrom asperger tersebut. Meskipun begitu, ia tak putus asa menghadapi penyakit ini, sebaliknya ia berhasil tumbuh dengan baik, menjadi dirinya sendiri yang cerdas, fokus dan pantang menyerah, imajinatif juga kreatif, hingga akhirnya berhasil menciptakan game Pokemon yang mendunia.
Baca Juga: Tokoh Dunia Penyandang Autisme dengan Kesuksesan yang Menginspirasi
Satoshi kecil yang hobi berburu serangga
Dibesarkan oleh ibunya yang merupakan ibu rumah tangga biasa, dan sang ayah yang berprofesi sebagai salesman mobil merek Nissan, Tajiri tumbuh sebagai anak yang sangat menyukai serangga. Hobinya adalah mengumpulkan dan mempelajari serangga.
Pada akhir 1970-an, setiap hari ia akan bermain di ladang dan kolam di daerah rumahnya, untuk berburu berbagai jenis serangga. Hingga suatu ketika daerah tempat ia bermain digusur karena akan dibangun apartemen dan juga pusat perbelanjaan. Saat itulah kegemaran Tajiri berubah dari berburu serangga ke bermain video game dan mesin arcade, inilah cikal bakal pembuatan game dan animasi Pokemon, Bun.
Orang tua Tajiri berharap kelak ia bisa menjadi tukang reparasi
Kedua orang tua Tajiri sangat berharap kalau kelak Tajiri dapat berprofesi sebagai tukang reparasi alat-alat listrik, Bun, sebuah cita-cita sederhana agar putra mereka dapat hidup mandiri dengan baik di masa depan.
Namun, walaupun pada akhirnya Tajiri berhasil menyelesaikan sekolah dan program kuliah keahlian 2 tahun di Tokyo National College of Technology, ia rupanya tak pernah berkeinginan untuk menjadi tukang reparasi seperti yang diharapkan kedua orang tuanya.
Pada saat itu, Tajiri justru makin sering bermain game, dan membuat orang tuanya kecewa. Kedua orang tua Tajiri sangat cemas kalau-kalau putranya telah membuang masa depannya sendiri. Mereka belum memahami betul kalau Tajiri juga sudah mulai rajin mendesain dan mempelajari cara membuat game, Bunda!
Baca Juga: Inspirasi Dian Sastro Besarkan Putranya Yang Menderita Autisme
Tajiri memenangkan perlombaan membuat konsep desain game
Masih berusia 16 tahun, Tajiri mulai membuktikan dirinya. Ia berhasil memenangkan sebuah kontes yang disponsori Nintendo, yang saat itu tengah sangat bersaing dengan Sega, yaitu sebuah kontes mendesain konsep game.
Barulah setelah itu, Tajiri bersama teman-teman sehobinya, memberanikan diri untuk membuat majalah khusus yang membahas dunia game, bernama “Game Freak”. Ken Sugimori adalah salah satu teman Tajiri yang menjadi kontributor di majalah tersebut, yang siapa sangka nantinya ia pula lah yang nantinya menjadi ilustrator dan desainer dari semua gambar Pokemon, karakter manusia, dan aspek-aspek lain dari game tersebut.
Seiring berjalannya waktu, majalah yang awalnya hanya ditulis tangan tersebut, mulai menjadi populer hingga bisa dicetak secara profesional dan menghasilkan banyak keuntungan!
Mulai membuat game
Setelah semakin dalam mempelajari seluk-beluk dunia game, dan meyakini kalau masa depan untuk game akan sangat menjanjikan, pada akhirnya Tajiri berhasil mewujudkan mimpinya untuk membuat video game.
Pada tahun 1987, ia menerbitkan game pertamanya yang berjudul Quinty. Dua tahun kemudian, dia secara resmi mendirikan perusahaan Game Freak, yang dinamai seperti majalahnya. Ia banyak mengerjakan konsep game untuk perusahaan-perusahaan game seperti Nintendo dan Sega. Ia juga banyak menerima penghargaan atas desain karakter dan game yang dibuatnya, bahkan juga menerbitkan buku berisi enam belas cerita mengenai kenangannya memainkan game arcade saat masih di sekolah menengah dan universitas. Buku itu diterbitkan oleh Pusat Kebudayaan dan Informasi Jepang, Bun.
Lahirnya Pokemon
Suatu hari di awal 1990, Tajiri melihat dua orang anak sedang bermain Game Boy bersama menggunakan link cable, saat itulah ia berimajinasi dan membayangkan serangga-serangga tengah merayap melintasi kabel di antara kedua sistem tersebut.
Ketika dia sedang memikirkan mengenai kemampuan dari link cable inilah, idenya mengenai Pokemon mulai muncul, dimana ia ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak modern saat itu, pengalaman berburu berbagai macam makhluk seperti yang ia lakukan dulu di masa kanak-kanaknya, yaitu berburu berbagai macam serangga.
Hingga pada akhirnya, enam tahun kemudian, Tajiri berhasil menyelesaikan konsep, mengerjakan, juga mengembangkan Pokemon bersama mentornya, Shigeru Miyamoto. Dan nama keduanya diabadikan sebagai dua tokoh utama dalam game Pokemon, yaitu “Satoshi” dan rivalnya “Shigeru”.
Baca Juga: Sindrom Heller pada Anak, Samakah Dengan Autisme?
Satoshi Tajiri penyandang sindrom asperger berhasil menaklukkan dunia
Benar kata pepatah, kalau tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Tajiri membuktikan dengan kegigihan dan bakat yang berhasil ia kembangkan, juga tentu dukungan dari orang-orang terdekatnya, mampu membawanya mewujudkan mimpi dan menjadikannya salah satu tokoh dalam dunia game yang sukses membangun perusahaan dari nol, dengan usaha dan kerja kerasnya sendiri.
Masih dalam suasana memperingati Hari Peduli Autisme Dunia. Yuk, sama-sama menerima dan memperlakukan penyandang autisme dengan setara, sebagai bentuk Bunda telah turut membantu mereka bersinar dengan caranya sendiri, dan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Karena autisme tak boleh menghalangi mimpi. Penyandang autisme juga dapat menjadi sukses, apabila mendapat dukungan dan kesempatan yang sama dalam mengasah bakat juga mengejar cita-citanya, Bun, setuju?