Pernahkah Bunda mendengar istilah hikikomori? Istilah ini mungkin tak populer di telinga Bunda, namun kenyataannya hikikomori kini semakin populer di kalangan anak-anak praremaja dan remaja, bahkan orang dewasa, khususnya pencinta anime, atau animasi jepang, Bun.
Hikikomori adalah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Dr. Tamaki Saito, yang mendefinisikan bahwa hikikomori adalah suatu situasi pengasingan diri saat tidak adanya partisipasi sosial, yang berlangsung setidaknya 6 bulan berturut-turut.
Baca Juga: 10 Tips Anti Rewel Bawa Balita Naik Pesawat
Hikikomori yang diromantisasi
Bahayanya, hikikomori kini mulai sering dijumpai dalam cerita anime dimana tokoh cerita diceritakan dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan di dalam kamar, tanpa mengurus diri dan bertemu dengan orang lain atau bersosialisasi.
Yang menjadi permasalahan adalah ketika hikikomori di dalam cerita anime diromantisasi sehingga seakan-akan pilihan untuk menyendiri di dalam kamar sendirian hingga berbulan-bulan adalah sesuatu yang wajar bahkan keren, Bunda.
Belum lagi ketika penulis cerita menggambarkan perasaan “aman” dan “nyaman” yang dirasakan oleh tokoh animasi tersebut, yang sangat mungkin dapat ditiru oleh banyak orang, khususnya anak-anak hingga remaja yang mungkin belum memahami betul konteks cerita tersebut.
Hikikomori di Indonesia
Di negara asalnya Jepang, hikikomori merupakan bentuk pelarian diri dari kerasnya kehidupan. Dimana orang-orang dengan sadar memilih untuk tidak berinteraksi dengan lingkungannya, dan merasa aman serta nyaman dengan mengasingkan diri dari masyarakat.
Yang mengkhawatirkan adalah, rupanya belakangan ini hikikomori tidak hanya terjadi di Jepang tapi juga di Indonesia dan beberapa negara maju di seluruh dunia!
Faktor-faktor penyebab hikikomori di Jepang
Menurut laporan Wall Street Journal, yang juga diyakini oleh pemerintah Jepang, menyebutkan bahwa ada sekitar 500.000 – 2.000.000 orang di Jepang telah memilih hikikomori. Uniknya, sebagian besar orang-orang yang memilih hikikomori di Jepang merupakan masyarakat golongan menengah atas yang berprestasi, memiliki tingkat intelegensi tinggi, bahkan memiliki profesi yang terpandang lho, Bun.
Baca Juga: Pandemi Membatasi Ruang Sosialisasi Anak, Bagaimana Menyikapinya?
Adapun 2 faktor utama yang mendasari masyarakat Jepang memilih hidup secara hikikomori, yaitu:
- Sekentei. Istilah yang merujuk pada upaya untuk menjaga reputasi, serta adanya tekanan untuk selalu menampilkan kesan positif di masyarakat.
- Amae. Yang artinya ketergantungan. Biasanya disebabkan oleh ibu yang terlalu menyayangi anaknya dan memperlakukan seperti anak kecil, hingga membuat anak tidak mau bersosialisasi dan terjun ke dunia luar.
Selain itu, masih banyak lagi alasan yang membuat fenomena hikikomori terjadi, di antaranya yang juga sering diungkapkan oleh beberapa orang yang kini telah keluar atau lepas dari hikikomori, yaitu semakin banyak keluarga Jepang yang hanya memiliki satu putra, sehingga para orangtua menaruh semua harapan dan impiannya kepada putra satu-satunya tersebut, dan membuat beberapa anak menjadi takut atau merasa tak sanggup menanggung beban dan memilih untuk mengisolasi diri di dalam kamar untuk waktu yang lama, bahkan hingga bertahun-tahun!
Ada juga alasan lain seperti tidak memiliki panutan ayah, karena sang ayah selalu bekerja siang dan malam, kemudian juga sistem patriarki, serta beban tanggung jawab ekonomi sebagai kepala rumah tangga, menjadi alasan yang paling sering melandasi keputusan seseorang untuk memilih hikikomori.
Belajar dari fenomena hikikomori
Walau belum ada catatan yang menyebutkan bahayanya hikikomori untuk kejiwaan dan mental anak, telah banyak psikiater yang meyakini bahwa hikikomori apabila tidak ditangani dengan tepat maka dapat menyebabkan hal-hal tidak baik di luar kontrol seseorang di masa depan, Bun. Misalnya saja tindak kriminal, hingga serangan penyakit.
Sebagai orang tua, tentu hal ini harus menjadi perhatian bersama. Terutama ketika kini akses anak untuk mendapatkan informasi dan hiburan dari seluruh dunia, begitu mudahnya hanya lewat layar ponsel.
Dengan selalu mengawasi dan mengontrol, seraya juga memberikan pengertian pada anak, untuk lebih memahami istilah-istilah atau kebiasaan seseorang yang dilihat dan disaksikannya di internet yang kurang baik atau tak perlu dicontoh, maka Bunda telah selangkah maju dalam mencegah tren atau fenomena hikikomori terjadi pada si kecil di kemudian hari.
Baca Juga: Tips Aman Mengunggah Foto Si Kecil di Media Sosial
Pentingnya pendampingan orang tua sejak dini, menjadi hal yang lagi-lagi sangat penting dan berdampak dalam tumbuh kembang mental dan fisik anak ya, Bun. Oleh karena itu, Bunda-bunda hebat, yuk semangat lagi mendampingi si kecil dengan smart dan penuh cinta!