If you have never been hated by your child, you have never been a parent.
Bette Davis

Frenemies atau Pertemanan Toxic dalam Pergaulan Remaja

author
Ruth Sinambela
Senin, 12 September 2022 | 10:00 WIB
Berada di dalam hubungan pertemanan yang tidak sehat hanya akan menguras self-esteem anak hingga merasa tak berdaya bahkan tak mampu keluar darinya | Shutterstock

Sebagai orang tua, Bunda tentu telah mencoba semaksimal mungkin untuk membantu si kecil agar bisa menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Mengharapkan buah hati tumbuh sebagaimana yang diinginkan adalah hal yang wajar. Meski tetap harus diingat bahwa apa yang menurut Bunda baik, belum tentu baik dan penting pula untuk orang tua lainnya. Hal inilah yang kemudian dapat membuat penilaian seseorang atas buah hati Bunda dan Ayah, maupun sebaliknya, tidak akan selalu sama.

Baca Juga: Depresi Pada Remaja, Masalah Kesehatan Mental dapat Menimpa Siapa Saja

Begitu pula ketika Bunda merasa si kecil bisa diandalkan di rumah, maupun bersikap baik di sekolah, bisa jadi ada hal-hal yang tidak Bunda ketahui, menyangkut sikap dan perilaku anak di tempat lain, atau pada situasi-situasi tertentu. Salah satu contohnya dalam pergaulan.

Frenemies atau pertemanan toxic pada remaja

Memiliki anak usia remaja yang menjadi korban bully tentu merupakan satu hal yang sangat mengganggu dan merugikan, namun bukan hanya itu, Bun. Bagaimana kalau di sisi lain, anak remaja Bunda justru merupakan pelaku? Mungkin bukan pelaku bully, tapi bisa jadi merupakan bagian dari frenemies atau pertemanan toxic.

Frenemies atau pertemanan toxic merupakan istilah yang kini banyak digunakan oleh para ahli untuk menggambarkan suatu hubungan pertemanan di dalam lingkup pergaulan remaja, dimana pertemanan tersebut lebih sering menghasilkan masalah atau situasi yang tidak menyenangkan di antara teman sepergaulan.

Seperti dilansir dari Kompas, frenemies merupakan gabungan dari dua kata yang berlawanan yakni friend (perkawanan/sahabat) dan enemies (permusuhan). Kedua kata ini kemudian digabungkan dan memiliki makna pertemanan yang sekaligus diselimuti oleh permusuhan. 

Frenemies merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya bullying | Shutterstock

Seperti pada hubungan toxic lainnya, pertemanan toxic atau frenemies dapat terjadi karena adanya pelaku yang menekan, menyudutkan, atau melakukan gaslighting kepada teman atau orang terdekatnya. Dimana situasi ini, apabila terus-menerus terjadi dapat membuat seseorang menjadi sulit untuk lepas dan keluar darinya. Tentu saja perlahan, pada akhirnya akan berdampak dan merugikan salah satu pihak, Bun.

Karena pertemanan toxic hanya akan membuat seseorang menjadi merasa buruk dan tak berdaya terhadap dirinya sendiri. Maka anak akan sulit berekspresi dan berkembang, yang mana hal tersebut merupakan hal yang wajib didapatkan di dalam pergaulan anak sehari-hari. Karena kalau tidak, tentu saja akan menghambat kemampuan berpikir, bersosialisasi, dan memangkas habis self-esteem yang dimiliki anak.

Baca Juga: Bahaya Mengintai, Yuk, Awasi Penggunaan Media Sosial pada Pra Remaja dan Remaja, Bun!

Bagaimana menyikapi frenemies atau pertemanan toxic

Menjadi korban atau pelaku frenemies, keduanya merupakan hal yang sama pentingnya untuk dicegah agar jangan sampai melibatkan buah hati ya, Bun. Selain itu, untuk bisa menjauhkan anak dari hal-hal ini, Bunda perlu melakukan pendekatan yang baik pada anak, sedini mungkin. Salah satu yang termudah adalah dengan memberi contoh lewat sikap Bunda dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana pun, hubungan yang baik antara anggota keluarga di rumah akan lebih memungkinkan anak untuk tahu bagaimana hubungan yang baik dalam pertemanan, sehingga tidak akan berperilaku toxic kepada orang lain. Begitu pula mencegah anak menjadi korban dari pertemanan toxic.

Agar anak tidak menjadi pelaku:

  • Beri contoh bagaimana hubungan yang baik antara Bunda dan Ayah, atau Bunda dan teman-teman
  • Tidak menjelek-jelekkan teman di hadapan teman lainnya, apalagi ketika anak berada di dekat Bunda
  • Bersikap tulus kepada semua teman, tanpa mengharapkan imbalan atau balasan apa pun
  • Peduli dan mau membantu teman yang mengalami kesulitan, tanpa memilih atau membandingkan
  • Dorong anak untuk banyak berteman
  • Kenalilah teman anak-anak Bunda, mintalah anak untuk mengajak teman-temannya ke rumah, dan amatilah dari jauh bagaimana mereka berinteraksi
  • Sempatkan waktu dan biasakanlah untuk mengobrol dan menceritakan apapun pada anak remaja Bunda, hal ini dapat Bunda lakukan sedini mungkin

Dengan mengetahui perubahan yang terjadi pada remaja akibat frenemies atau pertemanan tidak sehat, dapat membantu remaja untuk keluar darinya | Shutterstock

Agar anak tidak menjadi korban:

  • Bangun self-esteem anak sedini mungkin
  • Beri kesempatan anak untuk mengutarakan pendapatnya, dan hormatilah hal tersebut
  • Tanamkan keberanian di dalam diri anak untuk bisa berkata “tidak” pada hal-hal yang tidak sejalan dengan pemikirannya
  • Dorong anak untuk banyak berteman
  • Kenalilah teman anak-anak Bunda, mintalah anak untuk mengajak teman-temannya ke rumah, dan amatilah dari jauh bagaimana mereka berinteraksi
  • Perbanyak waktu untuk mengobrol dan menceritakan apa pun bersama anak remaja Bunda, sedini mungkin

Apabila Bunda melihat buah hati Bunda sebagai korban frenemies atau pertemanan toxic, maka hal pertama yang dapat Bunda lakukan adalah memberi waktu pada anak untuk bisa lepas dari hal tersebut tanpa bantuan Bunda. Meski begitu, teruslah awasi dan amati. Ketika Bunda melihat hal-hal yang sudah di luar batas, seperti terdapat luka fisik, perubahan sikap, prestasi akademis yang menurun, hingga depresi, saat itulah Bunda harus segera bertindak dengan melaporkannya ke pihak sekolah.

Baca Juga: Waspadai Mythomania Syndrome pada Remaja, Bun!

Terkadang situasi toxic untuk orang dewasa saja sangat menyulitkan, Bun. Maka jangan sampai buah hati Bunda merasakan hal tersebut apalagi terkurung di dalamnya. Ketika anak sudah tak mampu keluar dari situasi tersebut, maka campur tangan orang dewasa sangat diperlukan agar jangan sampai buah hati Bunda menyia-nyiakan masa remaja dengan menjadi korban pertemanan yang tidak sehat. Atau sebaliknya, menjadi pelaku pertemanan toxic itu sendiri.

Penulis Ruth Sinambela
Editor Ratih Sukma Pertiwi