Being a parent has made me more open, more connected to myself, more happy, and more creative. I’m more discerning in what I do and how I do it. It’s just made me a better person all the way around.
Alicia Keys

Sejarah FOMO dan Dampak Negatifnya bagi Kesehatan Mental

author
Ruth Sinambela
Kamis, 15 September 2022 | 15:01 WIB
Fear of Missing Out dapat diartikan sebagai rasa cemas yang terjadi ketika melihat kehidupan orang lain di media sosial tampaknya lebih menyenangkan | Shutterstock

Bunda mungkin sudah sering mendengar istilah FOMO, yang merupakan singkatan dari Fear of Missing Out atau dapat diartikan sebagai rasa cemas yang terjadi ketika melihat kehidupan orang lain di media sosial tampaknya lebih menyenangkan daripada kehidupan sendiri, hingga takut dianggap tertinggal atau “kalah” dari orang lain.

Apabila Bunda pernah atau bahkan sering merasakannya, berhati-hatilah, terlalu sering mengalami FOMO ternyata dapat mengganggu bahkan merusak kehidupan yang sebenarnya baik-baik saja, lho!

Baca Juga: Mengenal Macam-macam Gangguan Kesehatan Mental yang Umum Terjadi

Sejarah FOMO

Istilah FOMO sebenarnya sudah ada sejak tahun 2004, yaitu ketika media sosial Friendster pada zaman itu tengah digandrungi banyak orang. 

Patrick McGinnis, seorang penulis asal Amerika Serikat lah yang pertama kali memperkenalkan istilah FOMO atau fear of missing out, saat tengah berkuliah di Harvard Business School pada tahun 2003, Bun.

Ia menyadari bahwa pada saat itu, kemunculan Friendster dan internet telah sangat mempengaruhi kehidupan manusia, khususnya dalam hal berupaya untuk memiliki kehidupan yang live to the fullest, atau menikmati semua momen yang dimilikinya, termasuk dengan mengabadikannya lewat kamera dan membagikannya di internet.

Ia kemudian juga menyaksikan bahwa mahasiswa di universitas tempatnya belajar pada saat itu, sangat ingin menunjukkan diri dan berusaha untuk terlihat paling gaul dan up to date, serta tidak ketinggalan tren, berita, atau apapun yang tengah menjadi pembicaraan. Hingga ia kemudian berkesempatan untuk menuliskannya dalam sebuah artikel berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis’ Two Fos” pada tahun 2004, dan memperkenalkan istilah FOMO.

Membatasi diri dalam menggunakan smartphone sangat penting untuk menghindari perilaku FOMO | Shutterstock

Dampak negatif FOMO

Tak dapat dipungkiri media sosial menjadi salah satu faktor utama yang memulai kecenderungan manusia untuk “menunjukkan diri”. Media sosial pula yang semakin lama semakin mempermudah masyarakat untuk melihat kehidupan orang lain, hingga secara alamiah menjadikan manusia yang satu dengan yang lainnya mulai membanding-bandingkan diri.

Baca Juga: Gangguan Kesehatan Mental Nyata Mengintai Para Ibu Pasca Melahirkan

Tak dapat dicegah, pada akhirnya kebiasaan tersebut semakin lumrah terjadi bahkan mau tidak mau dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, terutama kalangan yang aktif menggunakan media sosial. 

Ironisnya, pada akhirnya FOMO dapat dengan mudah membuat masyarakat menjadi semakin narsistik dan konsumtif. Yang apabila tidak dicegah dan menjadi berlebihan, bukan tidak mungkin akan mempengaruhi kehidupan seseorang, bahkan merusaknya, Bun!

Berikut ini dampak negatif FOMO, seperti dilansir dari berbagai sumber:

  • Menimbulkan perasaan negatif, seperti kesepian, dan tidak nyaman.
  • Lebih mudah stres karena terobsesi untuk mempertahankan image di media sosial. 
  • Meningkatkan risiko gangguan psikologis, seperti gangguan kecemasan, dan depresi.
  • Terbiasa membandingkan diri dengan orang lain, dan menjadi semakin tidak percaya diri.
  • Lupa diri dan mengganggu produktivitas.

Apa pun pencapaian yang didapat, seseorang dengan perilaku FOMO tetap akan sulit untuk merasa bahagia | Shutterstock

Kebahagiaan sebenarnya merupakan rasa yang kita dapatkan secara alamiah, bahkan dari hal-hal yang sederhana, Bun. Sehingga ketika mencoba untuk memaksakan standar kebahagiaan orang lain pada diri kita, apalagi hanya melalui apa yang bisa dilihat di media sosial, akan cenderung membuat seseorang makin tidak puas dan pada akhirnya gagal merasa bahagia.

Satu-satunya jalan untuk menghindari hal tersebut adalah dengan berupaya untuk menggunakan gadget maupun media sosial sewajarnya, membatasi penggunaan gadget hingga menetapkan atau membatasi jam malam, juga lebih banyak menikmati waktu berkualitas bersama keluarga maupun teman-teman. Hal ini merupakan jalan terbaik untuk bisa mengurangi atau menghilangkan perasaan FOMO, Bun.

Baca Juga: Bahaya Mengintai, Yuk, Awasi Penggunaan Media Sosial pada Pra Remaja dan Remaja, Bun!

Yuk, semangat untuk mulai lagi mengisi hati dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang nyata, dan bukannya dengan mengejar sesuatu yang sebenarnya bukanlah apa yang kita butuhkan. Apalagi, kesehatan mental lebih penting dari apa pun ya, Bunda, jangan menyia-nyiakannya untuk sesuatu yang kurang berfaedah, yuk, cegah dari sekarang!

Penulis Ruth Sinambela
Editor Ruth Sinambela