Belakangan istilah “quiet quitting” maupun “quiet firing” tengah hangat diperbincangkan di berbagai media berita hingga media sosial, Bun.
Istilah ini sendiri muncul akibat banyaknya keluhan yang dirasakan oleh pegawai atau pekerja yang merasa kalau dunia kerja khususnya di Indonesia, mulai banyak mengadopsi hustle culture, atau budaya yang mengharuskan dan menormalkan karyawannya untuk memberikan dedikasi setinggi-tingginya untuk pekerjaan dan perusahaan, hingga work-life balance terkadang menjadi sesuatu yang harus dikorbankan.
Baca Juga: Kebiasaan Menunda Pekerjaan, Ini Pengaruhnya bagi Kehidupan Bunda dan Tips Menghilangkannya
Sehingga pada awal kemunculannya, quiet quitting sebenarnya lebih bertujuan untuk mendorong karyawan agar menurunkan tensi di dunia kerja dengan memilih mengerjakan kewajibannya di kantor sesuai dengan kapasitas atau job desc-nya saja.
Quiet quitting
Awalnya quiet quitting sebenarnya diibaratkan sebagai sesuatu yang positif dimana seseorang menarik diri dari beban pekerjaan yang terlalu banyak atau berlebihan, dan seringkali tidak sesuai dengan job desc atau kewajibannya, dengan mengatur ulang serta membatasi pekerjaan sesuai kapasitas dan tanggung jawab yang dimiliki.
Hal ini, menurut Reza Lidia Sari, S.Psi, M.Psi, dosen Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (UNAIR), seperti dilansir dari Suara Surabaya, merupakan respons perlawanan dari hustle culture yang menganggap pentingnya dedikasi yang amat tinggi pada pekerjaan.
Sehingga berkebalikan dengan extra-role behavior di mana seseorang berkenan mengerjakan pekerjaan diluar job desc-nya demi kelancaran sistem organisasi, budaya quiet quitting justru mengingatkan para karyawan untuk lebih memperhatikan mental dan kesehatan mereka dengan tidak bekerja terlalu keras di luar batas kemampuannya hanya untuk mendukung perusahaan, yang terkadang justru tidak menuntut hal tersebut, Bun.
Quiet quitting vs quite firing
Meski pada awalnya quite quitting didasari oleh tujuan yang baik, yaitu untuk menjaga seseorang dari bahaya workaholic, depresi, bahkan sakit karena pekerjaan. Kenyataannya kini quiet quitting mulai banyak mengalami perluasan bahkan perubahan makna.
Baca Juga: Bunda Perlu Tahu nih, Hak Apa Saja sih, yang Seharusnya Didapat Pekerja Perempuan dari Perusahaan
Tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang positif, quiet quitting kini seringkali dimaknai sebagai suatu budaya yang menghalalkan seorang pekerja atau karyawan untuk tidak bekerja sesuai dengan harapan, tidak memberikan usaha yang maksimal untuk memberikan hasil yang baik, bahkan juga dipakai sebagai istilah untuk “berhenti dari pekerjaan secara diam-diam”, Bun.
Tentu hal ini menjadi suatu kemunduran karena quiet quitting kini tidak lagi digunakan untuk kebaikan karyawan yang dilakukan tanpa merugikan siapa pun termasuk perusahaan. Quiet quitting justru membuat sebagian perusahaan merasa dirugikan hingga tidak segan-segan memberi “serangan balasan” yaitu quiet firing atau memecat karyawan tanpa peringatan bagi karyawan yang dianggap tidak memberikan sumbangsih yang maksimal atau dibutuhkan oleh perusahaan.
Positive quiet quitting
Dapat memberikan manfaat bagi karyawan maupun perusahaan apabila dilakukan dengan kesadaran dan tanggung jawab, sebenarnya quiet quitting tidak perlu meresahkan atau merugikan siapa pun. Bahkan kebaikan dan keburukan yang dihadapi ke depannya pun dapat digunakan sebagai alat untuk perbaikan bagi kedua belah pihak.
Apa saja sih, kebaikan atau manfaat yang bisa didapat dari quiet quitting yang positif? Ini dia:
- Menekan biaya overwork bagi perusahaan
- Memberi kesempatan bagi karyawan atau pekerja untuk memadatkan rutinitas sehingga mampu menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu
- Menciptakan ritme kerja yang lebih baik
- Mengurangi konflik antar karyawan
- Menumbuhkan semangat bekerja sehingga kualitas pekerjaan menjadi jauh lebih baik
- Memiliki lingkungan kerja yang sehat dan jauh dari burn-out
- Kreatifitas meningkat
- Karyawan bahagia
- Perusahaan puas dengan hasil kerja yang diberikan
Baca Juga: Perempuan Bekerja, Tidak Melulu Soal Uang
Bagaimana dengan Bunda atau Ayah? Apakah beban pekerjaan di kantor dianggap terlalu berat, atau sudah sesuai dengan job desc? Apabila Bunda maupun Ayah merasa kalau pekerjaan terlalu berat atau merasa pekerjaan tambahan yang tidak sesuai dengan kapasitas serta tanggung jawab semakin bertambah, mungkin sudah saatnya nih, untuk segera membicarakan perihal tersebut kepada atasan langsung maupun HRD, Bun.
Pada akhirnya sebagai yang menjalani dan mengerjakan, Bunda berhak kok memilih dan memutuskan yang terbaik. Apapun keputusan Bunda, pastikan kalau itu merupakan keputusan yang paling baik terutama untuk kesehatan fisik dan mental Bunda sendiri, ya. Semangat Bunda-bunda hebat!