Ketika si kecil lahir ke dunia, pada saat itu pulalah Bunda resmi sebagai seorang ibu. Tak ada kata yang bisa menggambarkan kebahagiaan yang Bunda rasakan saat pertama kalinya buah hati menatap wajah Bunda, berada di pelukan Bunda, meminum ASI langsung dari Bunda, memandikannya, menggendong dan menidurkannya.
Semua menjadi hal terindah namun sekaligus juga memberi tanggung jawab yang harus Bunda pikul sejak kali pertama.
Bukan berarti setiap fase yang dilewati selalu berjalan sempurna tanpa hambatan. Kesulitan-kesulitan akan mulai tampak tatkala si kecil juga semakin besar. Mungkin kesulitan memberikan ASI, kesulitan menyuapi MPASI, mengajari berjalan, bicara, hingga saat harus merawat si kecil yang jatuh sakit.
Baca Juga: Saat Bayi Sakit, Cukupkah Ibu Menyusui yang Minum Obat?
Semua itu merupakan hal yang wajar dan dialami oleh semua orang tua di dunia, Bun. Meski demikian, sebagai manusia sangat wajar apabila Bunda juga merasa lelah bahkan mungkin frustasi terutama ketika orang-orang di sekitar, baik keluarga dekat maupun keluarga jauh justru sibuk mengomentari bagaimana Bunda mengurus anak. Khususnya ketika anak jatuh sakit.
Kebanyakan orang mungkin akan mulai menggurui bahkan menyalahkan Bunda atas sakit yang diderita si kecil. Juga ketika tumbuh kembang si kecil kelihatannya tak secepat anak lainnya. Siap-siap saja mendengar berbagai komentar tidak enak mulai dari yang agak sopan hingga tidak sopan sama sekali.
Sikap tidak bijaksana atau yang lebih dikenal dengan blaming culture ini sebenarnya sudah seringkali dilarang oleh para ahli, Bun!
Definisi blaming culture
Apa sih yang dimaksud dengan blaming culture? Blaming culture merupakan budaya menyalahkan atau melimpahkan kesalahan kepada orang tua, khususnya para ibu, atas segala hal yang menimpa anaknya terutama ketika anak sakit.
Hal ini sering terjadi karena mayoritas masyarakat kita memang terbiasa untuk saling menyalahkan, mencari siapa yang salah hingga menyalahkan diri sendiri ketika menemui suatu masalah termasuk ketika anak sakit daripada menghadapinya dengan kepala dingin dan mencari jalan keluar terbaik.
Baca Juga: Sittervising, Caranya Menikmati Momen Hangat di Sela Waktu Sibuk Setiap Hari
Padahal ya, Bun. Sikap atau budaya seperti ini sangat bertentangan dengan saran dari para ahli yaitu dokter anak dan pengamat tumbuh kembang anak lainnya. Mengapa? Selain tidak memberi dampak apa pun bagi kesehatan anak yang sedang sakit, blaming culture justru dapat menurunkan mood seseorang hingga berpengaruh pula pada kesembuhan anak.
Dukungan untuk para ibu
Para ibu khususnya harus diberi dukungan. Karena sebagai orang yang paling dekat dengan si kecil, seorang ibu akan mengambil sebagian besar tanggung jawab untuk mengurus dan menjaga buah hati saat sakit sehingga sangat membutuhkan fisik dan mental yang siap untuk menemani buah hatinya menjalankan pengobatan apa pun itu.
Sebaliknya dengan menyampaikan komentar yang mengejek, membanding-bandingkan, menyalahkan atau menyudutkan sungguh tidak akan memberi manfaat apapun untuk kesembuhan juga tumbuh kembang anak ya, Bunda dan Ayah, Kakek dan Nenek, Om dan Tante.
Yuk, mulai sekarang kita belajar untuk lebih berempati lagi terutama kepada para ibu yang sudah berusaha semampu dan semaksimal mungkin untuk merawat dan menjaga buah hatinya. Kita ubah budaya menyalahkan, dengan lebih bijaksana memilih kalimat positif daripada negatif untuk diucapkan. Yuk, sebarkan positive vibes ke semua orang, terutama kepada para ibu!
Baca Juga: Si Kecil Mendadak Sakit Saat Liburan, Apa yang Sebaiknya Dipersiapkan?
Teruntuk Bunda-bunda hebat di mana pun berada, semangat terus! Ketika merasa akan “jatuh”, berpeganglah pada keyakinanmu ya, Bun… kalau tidak ada siapa pun yang bisa merawat buah hatimu sebaik dirimu sendiri. Semangat!