Kasus bullying di kalangan anak-anak sering kali terjadi. Selain pelaku dan korban, ada peran bystander dan upstander namun sering terabaikan. Apa artinya kedua peran tersebut? Bagaimana Ayah Bunda bisa mengajarkan si Kecil untuk menjadi proaktif dan berani melawan bullying di lingkar pertemanannya?
Bullying atau perundungan masih menjadi isu yang mengkhawatirkan. Berbagai data di tahun 2023 menunjukkan bahwa kasus bullying di Indonesia masih relatif tinggi. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar kasus terjadi di institusi pendidikan atau sekolah. Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang tahun 2023, terdapat 30 kasus bullying di sekolah yang sudah dilaporkan dan diproses oleh pihak berwenang. Dari 30 kasus itu, 50% terjadi di jenjang SMP/sederajat, 30% di jenjang SD/sederajat, 10% di jenjang SMA/sederajat, dan 10% di jenjang SMK/sederajat.
Angka tersebut berbeda jauh dengan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023 yang menerima laporan pengaduan sebanyak 3.877 kasus. Sebanyak 329 kasus merupakan laporan pengaduan terkait kekerasan pada lingkungan satuan pendidikan, dengan aduan tertinggi, yaitu anak korban bullying (tanpa laporan polisi), anak korban kekerasan seksual, anak korban kekerasan fisik/psikis, anak korban kebijakan, serta anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan.
Walaupun menjadi kasus yang kerap dibicarakan, bullying seringkali hanya ditindaklanjuti saat kasusnya viral di masyarakat. Banyak kasus lain yang tenggelam tanpa penyelesaian yang pasti. Data yang tercatat pun menjadi ambigu karena ada yang dilaporkan dan ada yang tidak. Fenomena ini mirip dengan gunung es, hanya sebagian kecil kasus yang terungkap ke publik.
Baca juga: Bahaya Cyberbullying, Cermati Gejala-gejala Anak Jadi Korban
Bystander dan Upstander
Saat membahas kasus bullying, fokus kita seringkali tertuju pada korban dan pelaku semata. Padahal, ada perspektif lain yang tidak kalah penting, yaitu bystander dan upstander, yang sama-sama mempunyai peran saat bullying terjadi. Lalu, apa arti dari kedua istilah ini?
Dilansir dari website Stop Bullying, bystander adalah seseorang yang menyaksikan tindakan bullying, baik secara langsung maupun online, namun memilih untuk tidak ikut campur atau membantu korban. Teman, guru, staf sekolah, orang tua, dan orang dewasa lainnya dapat berpotensi menjadi bystander. Dalam kasus cyberbullying, orang asing pun bisa menjadi bystander. Sebaliknya, upstander adalah seseorang yang melihat apa yang terjadi dan mengambil tindakan, menginterupsi, atau berbicara untuk menghentikan bullying.
Seorang bystander mempunyai peran yang signifikan untuk menghentikan situasi bullying dengan menjadi upstander. Ketika bystander ikut mendiamkan tindakan bullying, hal tersebut memberi kesempatan bagi pelaku dan membuat korban merasa terisolasi karena tidak ada pertolongan. Di sisi lain, seorang upstander juga berperan penting dalam memberikan dukungan kepada korban dan menghentikan tindakan bullying. Tindakan seorang bystander dan upstander dapat mengubah dinamika relasi pelaku bullying dan korban serta menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif.
Sayangnya, dalam konteks bullying, dua peranan ini masih belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Bisa jadi, dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari kita yang pernah menjadi bystander tanpa menyadari dampak negatifnya. Ternyata, diam bukanlah solusi yang tepat dalam menghadapi kasus atau situasi bullying. Saat kita diam berarti kita memberi ruang bagi perilaku negatif tersebut untuk berkembang lebih jauh.
Peran Orang Tua
Menjadi seorang upstander bukanlah hal yang mudah, terutama bagi anak-anak. Mengapa anak-anak yang menyaksikan situasi bullying dan mengetahui bahwa itu adalah tindakan salah, memilih untuk tidak ikut campur? Dru Ahlborg, co-founder Bullying Recovery Resource Center (BRRC) berpendapat bahwa ada banyak alasan yang melatarbelakanginya. Anak mungkin takut ada pembalasan atau menjadi target bullying berikutnya oleh pelaku. Selain itu, ada ketakutan yang berkaitan dengan konsekuensi sosial di lingkar pertemanannya, misalnya anak merasa bahwa perilaku bullying itu bisa diterima atau anak merasa bahwa target/korban melakukan sesuatu yang pantas mendapatkan bullying.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi anak, orang tua perlu untuk menanamkan sikap empati, keberanian, dan keterampilan sosial kepada anak sejak dini. Saat anak usia pra-sekolah (3-6 tahun) misalnya, orang tua dapat mulai mengajak anak berbicara tentang perasaan, pengalaman, dan kejadian sehari-hari. Lalu, apa yang harus dilakukan orang tua agar anak menjadi proaktif dalam melawan bullying?
- Komunikasi Terbuka
Dilansir dari website UNICEF, komunikasi terbuka antara orang tua dan anak adalah kunci. Orang tua dapat menciptakan lingkungan yang membuat anak merasa aman dan nyaman untuk berbicara tentang pengalaman mereka, termasuk jika mereka menjadi saksi atau korban bullying. Dengan memahami anak, orang tua dapat memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan anak.
- Contohkan Perilaku Positif
Children see, children do. Anak-anak membutuhkan panutan (role model) dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anak dengan menunjukkan sikap empati dan keberanian dalam kehidupan sehari-hari. Ajarkan anak akan pentingnya menghormati perbedaan dan membela kebenaran.
- Berlatih dengan Bermain Peran (roleplay)
Bermain peran dapat menjadi cara yang efektif dan menyenangkan untuk mengajarkan anak tentang peran bystander dan upstander. Orang tua dapat memberikan beberapa skenario tentang situasi bullying dan ajak anak untuk memikirkan cara-cara untuk bertindak.
- Bangun Keterampilan Sosial
Orang tua dapat membantu anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya, misalnya kemampuan untuk berbicara di depan umum dengan percaya diri, memecahkan konflik, dan bekerja sama dengan orang lain.
- Bekali Hal Dasar Ketika Melihat Bullying
Layaknya emergency kits, Orang tua perlu membekali anak dengan pemahaman dasar tentang apa yang harus dilakukan saat melihat bullying. Misalnya, jangan ikut mem-bully, melaporkan pada orang dewasa, menolong korban, dan lain-lain.
Baca juga: 10 Tanda Anak Dibully di Sekolah
Dukungan Sosial dan Lingkungan
“It takes a village to raise a child.” Kutipan peribahasa dari Afrika tersebut menunjukkan bahwa dibutuhkan support system untuk membersamai anak dalam kehidupannya. Tidak hanya keluarga saja, lingkaran di luar keluarga juga mempunyai peran.
Dalam situasi bullying, selain orang tua, peran sekolah juga penting. Orang tua dan sekolah harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan aman bagi anak. Berbagai tindakan yang dapat dilakukan antara lain menerapkan kebijakan anti-bullying yang jelas, memberikan pelatihan tentang bullying kepada murid dan semua warga sekolah, serta memberikan dukungan kepada korban dan upstander. Dengan kesadaran dan tindakan bersama, kita dapat menjadi benteng melawan bullying dan melindungi masa depan generasi mendatang. Yuk, Ayah Bunda ajak si Kecil untuk mencegah bullying sekarang!
Sumber:
https://www.stopbullying.gov/prevention/bystanders-to-bullying
https://bullyingrecoveryresourcecenter.org/upstanders-why-and-how/
https://www.theelefant.com/blogs/bullying-prevention-empowering-your-child-to-stand-up
https://www.unicef.org/indonesia/id/child-protection/tips-untuk-guru-mengatasi-bullying
https://www.unicef.org/indonesia/id/cara-membicarakan-bullying-dengan-anak-anda