You are beautiful because you let yourself feel, and that is a brave thing indeed.
Shinji Moon

Berkaca dari Adolescence, Ini Upaya Melindungi Anak dari Paparan Negatif Media Sosial

author
Dini Adica
Senin, 7 April 2025 | 15:12 WIB
Jamie membunuh Katie karena kombinasi berbagai faktor, termasuk kurangnya self-esteem, mengalami bullying di sekolah, dan paparan propaganda incel. | Netflix

Sudahkah Bunda menonton mini seri Netflix “Adolescence”? Mini seri ini memang sedang banyak dibicarakan karena kontennya yang sangat menggugah para orang tua, bahwa inilah yang sedang dihadapi anak sekarang dan tidak pernah kita sadari.

Jamie Miller (Owen Cooper), remaja laki-laki 13 tahun dalam mini seri tersebut, terpapar jaringan komunitas online “Manophere”. Melalui konten-konten ringan dalam bentuk meme atau komedi, komunitas ini sering kali mempromosikan maskulinitas dalam bentuk ekstrem.

Namun, akumulasi dari paparan terus-menerus ini bisa berujung ke tindakan fatal. Pada Jamie, paparan itu membuatnya melakukan kekerasan dengan membunuh Katie, teman perempuannya di sekolah.

Baca juga: 7 Istilah dari Serial Adolescence yang Penting Diketahui Bunda

Mungkin sebagai ibu, Bunda pun pernah bertanya-tanya, "Sebenarnya dunia seperti apa yang sedang membentuk anak laki-laki kita saat ini?"

Jujur saja, sekarang ini rasanya makin susah memahami bagaimana cara mendidik anak laki-laki agar tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara emosional dan berpikir terbuka. Apalagi, dengan perkembangan dunia digital yang luar biasa, kita harus lebih waspada.

Nah, gara-gara Adolescence, banyak orang tua jadi makin sadar kalau anak laki-laki kita bisa saja terpengaruh oleh konten-konten manosphere, yang sering kali memperkeruh pemahaman mereka tentang kesetaraan gender.

Orang tua dipaksa untuk menghadapi realita bahwa pandangan anak-anak laki mereka sekarang ini sedang dibentuk oleh konten yang dipicu algoritma, sehingga berkembang menjadi radikalisasi.

Kenapa Ini Jadi Masalah?

Menurut Jocelyn Bibi, terapis yang juga pekerja sosial klinis berlisensi, ada sebagian anak laki-laki yang mulai menunjukkan penolakan terhadap kesetaraan gender, dan kebencian yang lebih intens terhadap perempuan dan individu genderfluid daripada yang mungkin pernah kita lihat di masa lalu.

Anak laki-laki bahkan menganggap bahwa mereka justru menjadi pihak yang "dikecilkan" oleh tren sosial yang sedang berkembang.

"Tampaknya beberapa anak laki-laki muda merasa sangat 'anti-woke', yang berarti bahwa mereka merasa mungkin sedang dianiaya, atau diberi lebih sedikit kesempatan daripada orang-orang dari gender lain di sekitar mereka," lanjutnya.

Baca juga: Kenali Tanda Growth Spurt pada Si Kecil dan Cara Menghadapinya

Bibi percaya penolakan terhadap budaya dan kesetaraan ini menyebabkan meningkatnya kebencian di antara anak laki-laki muda ini.

Selain itu, banyak dari mereka yang mulai mengadopsi pola pikir bahwa menjadi maskulin berarti harus dominan, tidak boleh menunjukkan emosi, dan harus selalu menjadi "alpha male".

Sering kali, ini bukan sekadar fase biasa, tapi bisa berkembang menjadi pola pikir yang lebih toxic di kemudian hari.

Jamie membunuh Katie karena kombinasi berbagai faktor, termasuk kurangnya self-esteem, mengalami bullying di sekolah, dan paparan propaganda incel (involuntary celibate), kelompok pria yang frustrasi bahwa mereka tidak akan pernah menemukan pasangan hidup, sekeras apa pun usaha mereka.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Menurut Alex Anderson-Kahl, pendiri blog “Healing Little Hearts”, anak-anak laki-laki bisa saja menemukan komunitas online yang memberikan mereka rasa memiliki. Tapi, sayangnya, banyak dari komunitas ini justru membentuk pola pikir yang menyebarkan kebencian terhadap perempuan dan isolasi.

Mungkin kita nggak sadar kalau anak laki-laki kita mulai terpengaruh. Namun kalau mereka tiba-tiba berubah jadi lebih tertutup, terlalu kompetitif, atau gampang marah, bisa jadi itu sinyalnya.

Baca juga: Bunda, Yuk, Benahi Keuangan agar Tidak Semakin Boncos Setelah Libur Lebaran

Beberapa anak juga mulai menggunakan istilah-istilah seperti "sigma grindset" atau menunjukkan sikap sinis terhadap kesetaraan gender.

Nah, sebagai ibu, kita tentu ingin melindungi anak-anak kita dari pengaruh negatif tanpa harus bersikap otoriter. Berikut beberapa cara yang bisa kita coba:

• Jadilah Role Model yang Baik. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jadi, kalau Bunda ingin mereka tumbuh menjadi laki-laki yang sehat secara emosional, tunjukkan bagaimana cara mengekspresikan perasaan dengan sehat.

Ayah atau figur laki-laki di keluarga juga punya peran penting dalam menunjukkan bahwa maskulinitas bukan berarti menekan emosi.

• Bangun Komunikasi yang Terbuka. Daripada langsung melarang atau mengkritik, coba ajak mereka ngobrol dengan santai. Tanya pendapat mereka tentang sesuatu yang mereka lihat di internet. Jangan langsung menghakimi, karena bisa jadi malah bikin mereka makin tertutup.

• Pantau Konten yang Mereka Konsumsi. Ini tantangan terbesar, sih. Algoritma media sosial sekarang bisa menyajikan konten tanpa kita sadari. Jadi, penting banget buat tahu platform apa saja yang sering mereka akses dan ajak anak ngobrol tentang konten yang mereka lihat tanpa membuat mereka merasa dikontrol.

Baca juga: Tips Jaga Skin Barrier-mu di Usia 35+

• Jangan Takut Mencari Bantuan. Kalau anak kita menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan, seperti sering marah tanpa alasan, menarik diri dari keluarga, atau punya pandangan yang mulai mengkhawatirkan, tak ada salahnya konsultasi ke psikolog.

Mendidik anak laki-laki di era digital memang penuh tantangan. Tetapi bukan berarti kita harus menyerah. Dengan membangun komunikasi yang terbuka, menjadi contoh yang baik, dan memahami dunia mereka tanpa langsung menghakimi, kita bisa membantu mereka tumbuh menjadi laki-laki yang kuat tapi tetap lembut, percaya diri tapi penuh empati.

Penulis Dini Adica
Editor Dini Adica