
Film Jumbo bukan sekadar animasi indah yang ceria dan penuh warna, tapi bisa juga jadi sumber inspirasi Bunda mengajarkan hal-hal penting seiring Si Kecil beranjak dewasa.
Salah satu pesan yang ramai beredar di media sosial belakangan ini seputar fenomena film Jumbo adalah betapa film ini ‘mengena’ di berbagai usia.
Perjalanan Don dan teman-teman saat mewujudkan pentas seni dan kemudian menolong Meri adalah gambaran keseruan petualangan penuh warna dan tantangan yang bisa dirasakan oleh anak usia kecil maupun ‘anak’ yang lebih dewasa.
Di mata orang yang sudah menjadi orang tua, film Jumbo menggambarkan usaha orang tua yang ingin memberikan bekal nilai-nilai yang baik untuk anaknya, baik saat orang tua masih membersamai si anak, maupun saat sudah terpisah.
Buat orang dewasa yang belum memiliki anak pun, film ini membuat anak jadi memahami orang tua yang selalu berusaha menjadi orang tua yang baik dan memberikan yang terbaik meskipun kondisi tidak selalu mendukung.
Sepertinya, niat para pembuat film untuk menjadikan Jumbo sebagai film untuk kita, anak-anak kita dan anak-anak dalam diri kita, berhasil mengenai sasaran.
Baca juga: Berkaca dari Adolescence, Ini Upaya Melindungi Anak dari Paparan Negatif Media Sosial
Tema (Relatif) Berat yang Realistis
Angka 2,3 juta penonton setelah 13 hari penayangan (data 13 April 2025) seolah mewakili respon positif terhadap efek cerita yang berdampak ke segala generasi.
Dari sekian banyak pujian, terselip sebuah pertanyaan mengapa tema cerita utama Jumbo terkesan ‘berat’ untuk anak-anak seumuran Don dan teman-temannya. Dan ini tentunya bukan hal yang tidak disadari oleh pembuatnya.
“Waktu memulai proses Jumbo di akhir 2019, kami menyadari film ini akan makan waktu 4-5 tahun dalam proses pembuatannya. Untuk itu, kami ingin menyampaikan isu-isu yang benar-benar penting dalam film ini,” ujar sang sutradara Ryan Adriandy pada sebuah podcast sebelum film dirilis.
Salah satu isu yang dimaksud adalah bullying yang dialami oleh Don karena ukuran tubuhnya yang besar sehingga ia mendapat julukan Jumbo dari teman-temannya. Karena ukuran tubuhnya ini, ia juga jadi menjadi kurang lincah saat bergerak sehingga sering tidak dipilih oleh teman-temannya saat bermain yang mengandalkan kecepatan fisik.
Isu lain yang terasa dominan dalam film Jumbo adalah kondisi 'ketidakidealan' para karakter utamanya, tepatnya karena mereka sudah tidak memiliki orang tua lagi. Don digambarkan sudah kehilangan ayah ibunya dan tinggal bersama Omanya.
Sementara Atta juga tanpa orang tua dan digambarkan tinggal bersama Abangnya, Acil. Nurman, disebutkan hanya tinggal bersama kakek dan tiga kambing peliharaannya. Sementara Mae yang sejak kecil tinggal di panti asuhan disebutkan kini tinggal bersama orang tua angkat.
Dua isu di atas terkesan berat tapi di saat yang sama juga tidak bisa disangkal kalau sangat realistis. Pada hakikatnya, saat tumbuh dewasa, anak-anak harus menghadapi perubahan yang tidak selalu menyenangkan. Tepat seperti lirik lagu Selalu Ada di Nadimu, yang menjadi OST filmnya:
Kala nanti badai kan datang
Angin akan buat kau goyah
Maafkan, hidup memang
Ingin kau lebih kuat
Keluar dari Pulau “Gelembung”
Latar belakang ketiadaan orang tua tadi membuat Don dan teman-temannya harus menghadapi berbagai tantangan. Tidak hanya Don yang di-bully, tapi juga Atta yang sempat merasa ‘iri’ pada Don karena kondisi ekonominya yang serba kekurangan.
Sutradara Ryan Adriandhy mengungkapkan kalau latar belakang dirinya sebagai anak satu-satunya membuat kedua orangtuanya seolah meletakkannya dalam gelembung yang protektif. Ini jadi asal mulai ide Pulau Gelembung dalam cerita dongeng yang dibuat ibu dan ayah Don.
Don harus ‘keluar‘ dari Pulau Gelembung dan menghadapi awan-awan hitam dengan kilat menyambar, simbol berbagai realitas kehidupan yang akan muncul dalam perjalanan hidup menuju kedewasaan yang cepat atau lambat pasti akan terjadi.
Salah satu realitas ini adalah kehilangan orang terdekat, sesuatu yang biasanya sulit dihadapi oleh anak seusia Don atau anak-anak pada umumnya, berapa pun usianya, termasuk usia Bunda juga. Sekali lagi, mengutip lagu Selalu Ada di Nadimu yang menjadi OST film ini:
Sedikit demi sedikit
Engkau akan berteman dengan pahit
Luapkanlah meski harus menangis…
Usah kau takut dengan kerasnya dunia
Buku dongeng yang menjadi satu-satunya penghubung Don dengan kedua orangtuanya akhirnya menjadi sebuah simbol yang penting demi memberi makna pada tumbuh dewasa.
Dalam buku dongeng yang dituliskan orang tua Don itu, mereka menyerahkan kepada Don kepada sang ‘ombak’ untuk menemani saat mereka sudah tidak ada lagi.
Ombak di sini bisa diartikan ke banyak hal, bisa berupa dukungan dari teman-teman yang saling menemukan sepanjang perjalanan (Don, Mae, Nurman, Atta dan Meri).
Ombak juga bisa berarti support system orang terdekat, seperti Oma buat Don dan Acil buat Atta. Bisa juga berbagai nilai penting yang mereka temukan saat berkonflik (mengurangi sifat egosi dan belajar mendengarkan).
Baca juga: 7 Istilah dari Serial Adolescence yang Penting Diketahui Bunda
Tanpa harus memberikan banyak spoiler buat yang belum menonton film ini, film Jumbo penting untuk ditonton Bunda dan Ayah bersama Si Kecil. Tapi tentu tidak berhenti sampai di situ.
Sesudahnya, Bunda bisa sesederhana menjawab pertanyaan-pertanyaan Si Kecil seputar hal-hal yang belum ia mengerti dalam film ini, termasuk soal kehilangan orang terdekat, atau mengapa ada orang yang melakukan tindakan tidak terpuji.
Jadi, yuk jadikan film Jumbo sebagai ruang diskusi Bunda dan Si Kecil menghadapi tantangan-tantangan besarnya sekarang atau pun nanti.
(Marti)